Pengelolaan Sumber Daya Alam Pertambangan Sebagai Aset Dikuasai Negara


Pembagian kategori kekayaan atau aset negara saat ini terbagi menjadi dua bagian; pertama, aset negara yang dimiliki yaitu berupa barang milik negara dan kekayaan negara yang dipisahkan, kedua yaitu kekayaan yang dikuasai berupa Sumber Daya Alam (SDA). Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

Berbicara terkait dengan aset sumber daya alam pertambangan tidak lepas dari pembahasan mengenai perusahaan tambang besar yang beroperasi di Indonesia, yaitu PT Freeport Indonesia. PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan perusahaan tambang mineral afiliasi dari Freeport-McMoRan (FCX) dan Mining Industry Indonesia (MIND ID). PTFI menambang dan memproses bijih menghasilkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak. PTFI memasarkan konsentrat ke seluruh penjuru dunia dan terutama ke smelter tembaga dalam negeri, PT Smelting. PTFI beroperasi di dataran tinggi terpencil di Pengunungan Sudirman, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Indonesia. Tambang di kawasan mineral Grasberg, Papua - Indonesia merupakan salah satu deposit tembaga dan emas terbesar di dunia.

Hilirisasi adalah suatu proses transformasi ekonomi berkelanjutan di mana kebijakan industrialisasi berbasis komoditas bernilai tambah tinggi, menuju struktur ekonomi yang lebih kompleks. Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jilid II (2009-2014), pemerintah mereformasi kebijakan pengelolaan mineral di Indonesia melalui UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (minerba). Misi utama terbitnya undang-undang ini adalah mendorong terjadinya peralihan (shifting) pengelolaan mineral, yaitu dari hulu ke hilir. Untuk mendorong terjadinya shifting, UU ini mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan pemegang Kontrak Karya (KK) mendirikan smelter di dalam negeri. Pemerintah juga melarang perusahaan tambang melakukan ekspor mineral mentah. Larangan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2010, dan diberlakukan sejak 12 Januari 2014 atau lima tahun sejak UU No.4/2009 diundangkan.

Selama tujuh tahun diimplementasikan, muncul banyak kendala yang membuat kebijakan hilirisasi tidak berjalan mulus. Berbagai berita yang dirilis media massa mengkonfirmasi bahwa implementasi kebijakan hilirisasi mineral terkendala oleh kesulitan yang dialami perusahaan tambang untuk mengintegrasikan operasi penambangan di hulu dan operasi pengolahan mineral di hilir baik secara teknis maupun finansial. Kendala kedua adalah resistensi dari perusahaan tambang milik asing (pemegang KK) karena mengalami kesulitan cash flow. PTFI misalnya, sedang membangun proyek tambang bawah tanah (underground mining) di Grasberg dengan investasi senilai US$1,5 miliar. Aturan yang melarang ekspor mineral mentah menyebabkan banyak perusahaan tambang tidak memiliki kemampuan finansial untuk membangun smelter. Pendapatannya merosot dan PT FI telah merumahkan sebagian karyawan. Hal ini menunjukkan bahwa UU No.4/2009 memiliki beberapa kelemahan.

Sebenarnya pemerintah memiliki opsi untuk mengatasi kelemahan regulasi ini, yaitu merevisi UU No.4/2009. Namun, opsi ini tidak dijalankan karena pemerintah dengan beberapa pertimbangan tertentu memilih opsi lain. Kelemahan dari undang-undang ini diatasi dengan menerbitkan lima PP. Kehadiran PP ini juga tidak menyelesaikan masalah mendasar yang dihadapi perusahaan tambang, bahkan beberapa aturan justru menimbulkan masalah baru. Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara misalnya, memuat aturan pelonggaran atau relaksasi ijin ekspor untuk jenis mineral tembaga atau hanya ditujukan kepada perusahaan tambang pemegang KK (PTFI dan PT Amman Nusa Tenggara) dan diwajibkan membayar bea keluar yang tarifnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Perusahaan-perusahaan tambang menilai aturan ini tidak adil karena hanya membela perusahaan asing pemegang KK. Disamping itu, pendapatan perusahaan semakin tergerus karena UU maupun PP tidak memperbolehkan ekspor mineral mentah selama tiga tahun (Januari 2014 s/d Januari 2017 ).

Pemerintah mencari solusi dengan menerbitkan PP No.1/2017, yang intinya memberikan relaksasi izin ekspor mineral mentah untuk semua jenis mineral. Pemegang KK juga diperbolehkan mengekspor konsentrat dengan syarat bersedia merubah status KK menjadi Izin usaha Pertambangan Khusus (IUPK). PP ini juga mewajibkan PTFI untuk melakukan divestasi 51 persen sahamnya. Terbitnya PP ini disambut gembira oleh perusahaan tambang domestik, s ementara PTFI meresponnya dengan protes. PTFI keberatan karena aturan yang mewajibkan PTFI merubah status KK menjadi IUPK akan mengurangi kontrol Freeport McMoRan Ltd di PTFI terhadap PTFI. Perusahaan tambang asal AS ini juga keberatan dengan aturan divestasi sebesar 51 persen yang berbeda dengan hasil revisi KK pada tahun 1991 yang menetapkan divestasi hanya sebesar 30 persen. PTFI bahkan mengancam akan membawa persoalan ini ke pengadilan arbitrase internasional bila negosisasi dengan pemerintah Indonesia tidak mencapai kesepakatan win-win solution.

Pada awalnya, PT. Freeport Indonesia memiliki komitmen yang dibuat dalam bentuk Kontrak Karya (KK). Kontrak karya merupakan perjanjian yang dikenal dalam pertambangan secara umum sejak diterbitkannya UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Kontrak karya merupakan jalan bagi investor asing masuk yang hendak melakukan kegiatan usaha dibidang pertambangan dan energy di Indonesia. Pada awalnya, pedoman yang digunakan dalam implementasi kontrak karya adalah Undang-undang nomor 1 tahun 1967 tentang penamaman modal asing serta undang-undang nomor 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan umum.

Kontrak Karya ini ditandatangani pada tahun 1967 berdasarkan UU nomor 11 tahun 1967 untuk masa 30 tahun terakhir. Kontrak karya yang ditandatangani pada awal masa pemerintahan Presiden Soeharto diberikan kepada Freeport sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di atas wilayah 10 Km persegi. Pada 1989, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan izin eksplorasi tambahan untuk 61.000 hektar. Berdasarkan Kontrak Karya II yang ditandatangani tahun 1991, masa berlaku kontrak Freeport akan berakhir pada tahun 2021.

Pada perjalanannya ketentuan Kontrak Karya menjadi hal yang harus ditinjau secara bersama pasca terbitnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut UU Minerba) menjadi momentum perubahan mendasar penyelenggaraan usaha pertambangan mineral dan batubara di Indonesia. Pengaturan yang paling fundamental yang terdapat dalam UU Minerba dari pengaturan sebelumnya dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yaitu mengenai perubahan substansi pengusahaan dari Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya/Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (KK/PK2PB) menjadi izin usaha baik Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). PT. Freeport Indonesia Company mayoritas saham dikuasai oleh Amerika Serikat sebesar 90,64 Persen (Sembilan puluh koma enam puluh empat persen). Sedangkan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Pertambangan dan Energi hanya menguasai sebesar 9,36 Persen (Sembilan koma tiga puluh enam persen).

Dengan kepemilikan saham 9,36 persen tentu saja keuntungan ekonomi yang diperoleh Pemerintah Indonesia tidak optimal, bahkan peran pemerintah Indonesia juga tidak signifikan dalam proses manajemen Perseroan mulai dari Planning (perencanaan), Organizing (pengorganisasian), actuating (kepemimpinan), hingga Controling (pengendalian) serta mempromosikan kepentingan nasional di dalam PT Freeport Indonesia Company.

Terkait subtansi Kontrak Karya yang menjadi fokus utama dalam hal kepemilikan saham oleh host country dimana dalam hal ini Indonesia, menginginkan sejumlah saham sebagaimana kesepakatan dalam Kontrak Karya. Sebagaimana posisi pemerintah selaku regulator menjadi satu kekuatan ketika suatu hal berimplikasi langsung pada kepentingan negara dan untuk kesejahteraan rakyat, maka secara tegas negara harus hadir dan melakukan upaya-upaya mengembalikan kepentingan negara sebagaimana amanah pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu ayat (2) menyatakan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Sedangkan ayat (3) menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam usahanya pemerintah agar ketentuan Pasal 112 UU No. 4 tahun 2009, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam PP No 23 Tahun 2010 jumlah saham yang wajib didivestasikan kepada peserta Indonesia adalah paling sedikit 20% (dua puluh Persen). Dua tahun kemudian, pemerintah mengubah PP 23 Tahun 2010 dengan PP 24 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Salah satu perubahan penting yang terdapat dalam PP No 24 Tahun 2012 adalah mengenai besar saham yang wajib didivestasikan menjadi paling sedikit 51% (lima puluh satu persen). Kemudian seperti diketahui, pada 2018 lalu Indonesia resmi menjadi pemegang saham mayoritas PT Freeport Indonesia sebesar 51,23% melalui Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertambangan MIND ID atau sebelumnya atas nama PT Inalum (Persero).

Kemudian pada tahun 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) buka suara perihal kepastian perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia (PTFI) setelah tahun 2041 mendatang. Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan bahwa setelah Kunjungan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) ke Amerika Serikat (AS), salah satu hal yang dibahas adalah perihal perpanjangan kontrak pertambangan Freeport Indonesia di Papua yang akan berakhir tahun 2041. Arifin mengatakan IUPK PTFI bisa diperpanjang hingga tahun 2061 mendatang lantaran cadangan sumber daya mineral yang terhitung masih ada dan bisa terus dimanfaatkan. Dia mengatakan cadangan sumber daya mineral masih bisa dimanfaatkan oleh PTFI berada di bawah tanah atau pertambangan underground. Dengan begitu, saat ini fokus pemanfaatan sumber daya mineral difokuskan di pertambangan bawah tanah. Adapun, Arifin mengatakan persetujan perpanjangan IUPK Freeport bisa diselesaikan secepatnya supaya ada kejelasan dan kepastian.


VP Corporate Communication PTFI, Katri Krisnawati mengatakan untuk mendapatkan izin perpanjangan operasi IUPK PTFI di Papua, PTFI akan membangun fasilitas pemurnian dan pemrosesan mineral mentah (smelter) di Fak-Fak, Papua Barat dan menambahkan saham pemerintah sebesar 10%. Sebagaimana diketahui sebelumnya, Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Amerika Serikat (AS) juga bertemu dengan CEO Freeport McMoran Ricard Adkerson. Dalam pertemuan itu dibahas mengenai penambahan saham Freeport di Indonesia, hingga perpanjangan izin tambang.


Ika, Syahrir. 2017. Kebijakan Hilirisasi Mineral: Reformasi Kebijakan untuk Meningkatkan Penerimaan Negara. Kajian Ekonomi Keuangan Vol. 1 No. 1 (2017).

Nefi, Arman; Malebra, Irawan; Ayuningtyas, Dyah Puspitasari. 2018. Implikasi Keberlakuan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Pasca Undang-Undang No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Jurnal Hukum & Pembangunan, Faculty of Law Universitas Indonesia. Volume 48 Number 1, Article 7, 3-31-2018.


(Posted originally by Salma Fadhilah on salmafadhilah.blogspot.com)

Komentar

Postingan Populer

Moony Scribbler

Ekspresi Hijau

Belajar Apa di Arsitektur Lanskap IPB?