tau dekomisioning merupakan proses restorasi yang dilakukan setelah kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi. Menurut peraturan Satuan Tugas Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) PTK No. 040/2018, ASR meliputi penutupan sumur secara permanen, penghentian operasi, penghapusan kemampuan fasilitas produksi dan penunjang untuk dapat dioperasikan kembali, pembongkaran permanen, dan pelaksanaan restorasi lingkungan. Penonaktifan anjungan lepas pantai di Indonesia merupakan kegiatan kompleks yang melibatkan banyak pemangku kepentingan dengan kepentingan dan kekuasaan berbeda. Sampai saat ini hanya satu (1) anjungan yang telah dipindahkan dari tempat asalnya di lepas pantai dan tenggelam sebagai rig to-reef dekat Kalimantan, Indonesia. Keseluruhan proses bisnis memakan waktu 7 (tujuh) tahun sejak pembahasan pertama pada tahun 2017 hingga pelaksanaan pada tahun 2022, hal ini tidak diinginkan untuk proyek dekomisioning di masa mendatang.
Desi Aresa Mahdi, Gatot Yudoko, dan Agung Wicaksono dalam European Journal of Business & Management Research (EJBMR) Vol 8, Issue 5, September 2023 yang berjudul Debottlenecking The Complexities of Stakeholder Management in Indonesia Offshore Platform Decommissioning melakukan penelitian tentang hal ini berdasarkan pengalaman pengelolaan pemangku kepentingan pada Proyek Percontohan Dekomisioning untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan (1) siapa saja pemangku kepentingan utama, (2) tantangan apa saja yang menyebabkan hambatan dalam mencapai keselarasan pemangku kepentingan, (3) apa akar permasalahan dari tantangan-tantangan ini, serta (4) berapa durasi ideal untuk mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan, dan penyelarasan dan persetujuan rencana dan izin dekomisioning. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan analisis terhadap proyek-proyek dekomisioning di masa depan, untuk mengidentifikasi akar penyebab tantangan-tantangan tersebut, dan untuk merekomendasikan rencana aksi untuk mengurangi dampak buruk tersebut.
Penelitian ini lebih memilih
menggunakan analisis kualitatif karena dapat memberikan pengetahuan yang lebih
lengkap tentang aspek sosial, lingkungan, dan kontekstual yang rumit. Penelitian ini mengumpulkan data dari pemangku kepentingan utama termasuk Kontrak Bagi Hasil (PSC)
Kontraktor dan beberapa institusi yang terlibat dalam proyek ini akan mengkaji
kompleksitas penyelarasan pemangku kepentingan sebagai studi kasus untuk proyek dekomisioning
di masa depan. Analisis kualitatif menggunakan Current Reality Tree untuk
menemukan akar permasalahan dan Future
Reality Tree untuk mengidentifikasi suntikan yang diperlukan untuk meningkatkan keselarasan
pemangku kepentingan.
Penyelesaian kompleksitas dan
tantangan pengelolaan pemangku kepentingan Proyek Decommissioning Anjungan
Lepas Pantai dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep debottlenecking.
Debottleneck adalah metode untuk menemukan dan menyelesaikan kemacetan dalam
suatu sistem atau proses untuk meningkatkan efisiensi dan kapasitasnya.
Kemacetan terjadi ketika aliran material, informasi, atau sumber daya dibatasi,
sehingga mengakibatkan penundaan, inefisiensi, dan peningkatan biaya. Tujuan
dari debottleneck adalah untuk meningkatkan throughput sistem dan mengurangi
waktu siklus sehingga dapat memenuhi permintaan dan beroperasi lebih efisien.
Debottlenecking biasanya merupakan
proses dua langkah: (1) mengidentifikasi hambatan dengan mengidentifikasi
langkah-langkah yang membatasi laju sumber daya dan kegiatan/proses di
fasilitas, dan (2) mengurangi hambatan dengan melakukan perubahan pada
langkah-langkah yang membatasi laju tersebut untuk meningkatkan proses. Setelah akar permasalahan teridentifikasi, debottlenecking
dilakukan dengan merekomendasikan serangkaian rencana aksi. Metode yang
digunakan adalah Future Reality Tree (FRT). FRT adalah struktur logis yang
memungkinkan seseorang untuk membangun solusi yang, ketika diimplementasikan,
menghilangkan solusi yang sudah ada.
Berdasarkan hasil wawancara, dilakukan pemetaan Power vs. Kepentingan
digambarkan dalam bentuk Matriks Pemangku Kepentingan. Kementerian ESDM, SKK
Migas dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merupakan pihak-pihak yang berada
di Kuadran 1 (Pemantauan Secara Ketat) karena merekalah yang mempunyai
kekuasaan, pengaruh, dan kepentingan tertinggi dalam keseluruhanproses
dekomisioning. Menarik untuk dicatat bahwa Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga
memainkan peranan penting dalam menyetujui penghapusan aset, yang dianggap oleh
hampir setiap pemangku kepentingan sebagai pihak yang tidak mempunyai peran
penting.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari responden, terdapat beberapa
Dampak Tidak Diinginkan (UDE) yang saat ini dirasakan. Setelah ditinjau, UDE
tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat tema utama sebagai berikut: (1)
Tidak ada dana ASR; (2) Kurangnya antusiasme PSC untuk memulai POA; (3) Butuh
waktu lama untuk mendapatkan persetujuan penghapusan aset; dan (4) Proses
persetujuan izin yang tidak efisien. Keempat UDE ini dicabangkan ke bawah untuk
menemukan efek perantara dan apakah mereka terkait satu sama lain. Akhirnya,
cabang tersebut akan habis hingga mencapai akar penyebab masalahnya.
Dari analisis CRT, akar penyebab UDE yang teridentifikasi adalah (1)
penegakan peraturan yang ada, (2) nilai sisa yang jauh lebih kecil dibandingkan
biaya dekomisioning, dan (3) ketidakselarasan koordinasi pemangku kepentingan
eksternal tingkat tinggi. Hambatan dalam Decommissioning Anjungan Lepas Pantai
ditunjukkan oleh waktu yang dibutuhkan untuk penyelarasan pemangku kepentingan
dalam menyetujui pendanaan, penggunaan platform di akhir masa pakai/masa depan,
dan penghapusan aset. Dalam studi kasus, durasinya lebih dari 2 tahun, dan hal
ini dapat menghambat kemajuan penonaktifan 100 platform dalam 7 tahun ke depan.
Berdasarkan Pohon Realitas Masa Depan, “injeksi” atau rencana aksi
berikut diusulkan untuk mengatasi hambatan tersebut antara lain: (1)
Kementerian ESDM dan SKK Migas untuk meresmikan pendanaan mekanisme untuk
mendukung Cost Recovery dan Gross Split PSC. (2) Kementerian Keuangan akan
menetapkan peraturan Penghapusan khusus karena nilai jual kembali sangat rendah
dibandingkan dengan biaya dekomisioning. (3) Kementerian Keuangan akan menetapkan
peraturan untuk menangani fasilitas in-situ untuk penilaian, lelang, dan serah
terima untuk mengurangi biaya. (4) Kementerian ESDM menerbitkan pedoman payung
dekomisioning yang secara jelas menggambarkan proses bisnis terintegrasi dari
berbagai institusi dan target durasi penyelesaiannya. (5) PSC melakukan
analisis pemangku kepentingan secara berkala untuk memastikan semua pemangku
kepentingan diketahui dan dipahami risikonya. (6) PSC menetapkan Rencana
Komunikasi untuk masing-masing pemangku kepentingan, termasuk pesan, PIC, dan
tingkat kewenangannya. Rencana komunikasi perlu diselaraskan dengan daftar dan
matriks pemangku kepentingan yang diperbarui.
Dengan menggunakan teori manajemen pemangku kepentingan, penelitian ini
berhasil menggambarkan peta hubungan para pemangku kepentingan utama dalam
keseluruhan proses dekomisioning lepas pantai dan memprioritaskan kepentingan
pemangku kepentingan terhadap Operator KKS.
Komentar
Posting Komentar
Comments are welcomed! Siapa tahu pertanyaan kamu sudah pernah dijawab, jangan lupa cek dulu pertanyaan yang sering ditanya di Jawaban Pertanyaan Umum/Frequetly Asked Questions (FAQ) ya! Jangan lupa juga centang kotak "notify me"/"beritahu saya" supaya ada notification jika pertanyaannya sudah dijawab. Terimakasih :)