Life Alongside COVID-19


Satu setengah tahun lalu, siapa sangka masker yang terkadang dipakai untuk sekadar menyembunyikan muka jelek tidur di kereta atau pesawat, akhirnya harus dipakai setiap hari? Juga siapa sangka lift kantor yang biasanya diisi sampai berdesakan jika sudah mendekati waktu terlambat, kini hanya boleh diisi lima atau enam orang saja? Atau siapa sangka sekedar bisa makan di kantin sambil bercerita dan tertawa terbahak-bahak bisa jadi sesuatu yang sangat dirindukan, disaat kini makanan hanya bisa di-takeout dan dinikmati sendiri di meja masing-masing dengan senyap? 

Jangan lupakan juga berapa banyak agenda tatap muka yang digantikan via berbagai macam aplikasi video conference, bahkan ditunda. Atau hari-hari yang membuat keluar rumah pun tidak bisa, seperti PSBB di awal dulu atau PPKM yang sedang kita lalui sekarang. Tanpa dijelaskan dengan detail, semua pasti paham dengan jelas apa yang Covid-19 lakukan terhadap kehidupan normal kita: merombaknya habis-habisan. 

Bagaimana hidup setelah Covid-19? Pada awalnya, ketika PSBB total di beberapa bulan pertama selesai, roda kehidupan sedikit berjalan kembali dengan aturan yang disebut 'the new normal'. Work From Home sudah kembali digantikan dengan Work From Office dengan berbagai protokol. Sudah sempat juga saya kembali melakukan dinas ke beberapa daerah, dengan entah berapa kali rapid test antibodi, swab antigen, hingga PCR saya alami selama sekian waktu berjalan. 

Saya kira, Covid-19 akan menjadi hal yang masih jauh dari lingkaran terdalam kehidupan saya. Walaupun saya tahu ia ada, saya kira ia akan tetap menjadi sesuatu yang hanya saya lihat saja dari berita, dengar dari berbagai cerita, atau dialami oleh saudara dari teman atau karwayan di lantai sekian kantor saya yang tidak saya kenal. Namun, tidak sampai satu bulan terakhir ini: Bulan Juli tahun 2021.

Satu bulan yang lalu, saya pulang dari Jakarta dengan membawa hasil swab PCR, sambil bercerita bahwa saya telah berkontak dengan rekan yang dinyatakan positif sehingga harus menjalani test. Hasil test saya negatif, namun saya membatasi kontak dengan orang rumah, khawatir masih ada virus belum terdeteksi yang mungkin saya tularkan kepada mereka. Harus PCR setelah mendapat kabar rekan yang positif bukan baru satu kali saya alami, namun kali ini adalah kontak yang paling dekat: rekan satu tim yang duduk di sebelah meja saya. Saya tidak mau ambil resiko. 

Satu hari di rumah, bertepatan juga dengan pemberlakukan PPKM, ibu saya juga harus menjalani test swab karena berkontak dengan orang yang dinyatakan positif. Seperti yang saya alami sudah-sudah, saya pikir hasilnya pasti akan negatif juga. Namun ternyata kali ini Covid-19 sedang 'bermain' lebih dekat dengan kami. Hasil test Ibu dinyatakan positif. Akhirnya saya harus mengalami sendiri, bersinggungan langsung dan harus hidup berdampingan dengan covid. 

Beberapa lemari di rumah didorong untuk menciptakan ruang isolasi mandiri untuk Ibu. Kami berbelanja ke luar untuk membeli vitamin, buah, dan bahan-bahan makanan selama kami sekeluarga di rumah. Jadwal minum obat, minum vitamin, makan buah, serta makan pagi-siang-sore dijadwalkan dengan presisi untuk Ibu. Workstation saya yang sebelumnya di kamar, saya pindahkan di ruang TV, agar lebih mudah mendengar jika Ibu membutuhkan sesuatu, walaupun terkadang harus sambil berlarian karena bertepatan dengan adanya Zoom kantor. 

Masa di rumah saja saat PPKM kali ini berbeda dengan sebelumnya. Saat PSBB dulu, kita masih sempat berfikir mencari kesibukan dengan membuat kopi dalgona, menanam dan mengoleksi tanaman janda bolong, sampai memutuskan ingin mendapatkan keahlian atau insight baru dengan mengikuti webinar-webinar. Kali ini, semua orang disibukkan juga, namun dengan hal yang jauh berbeda dari sebelumnya. Status-status di media sosial dari teman-teman terdekat dipenuhi dengan pengumuman mencari donor darah konvalesen, mencari tabung oksigen, mencari kamar-kamar di rumah sakit, hingga mencari ambulance. Berita duka pun tak henti-hentinya bermunculan di setiap macam aplikasi.

Ditengah angka kasus yang naik dan keadaan yang sedang chaos seperti sekarang ini, anehnya sepertinya makin banyak saja orang yang ignorance. Dari tipe orang-orang yang tidak mau mengikuti protokol kesehatan hanya karena sudah malas, antivax, hingga yang merasa pasien yang memenuhi rumah sakit hanyalah permainan pihak rumah sakit. Rasanya sakit sekali mendengar kalimat-kalimat tersebut kini bahkan keluar dari orang-orang yang bisa kita dengar suaranya, bukan lagi dari tulisan yang kita baca lewat komentar-komentar akun bodong di media sosial saja. 

Mungkin orang-orang itu belum pernah merasakan, bekerja dengan photoshop pada jam 2 dini hari, dengan latar belakang suara:
1. Ibu yang batuk-batuk dengan keras sambil beristighfar dan bertakbir
2. Bapak yang mondar-mandir menelefon mencari rumah sakit 
3. Adik paling cuek yang biasanya sudah tidur setelah isya, ribut menanyakan apakah Ibu butuh sesuatu di depan kamar Ibu 
4. Dan suara sesengukan tangisan sendiri, sambil diiringi klik mouse yang harus terus berbunyi karena ada deadline. 

Kalau boleh berbagi sedikit, walaupun secara fisik saya sehat, setiap hari selama Ibu sakit rasanya saya ikut sesak. Sebagai orang yang cengeng, dari pertamakali mendengar Ibu positif pun entah sudah berapa kali saya menangis. Namun Alhamdulillah, tiga minggu isolasi mandiri di rumah, saat ini Ibu sudah sehat dan dinyatakan negatif. Tulisan ini pun sudah ditulis dalam keadaan workstation dadakan di ruang tv sudah kembali ke kamar. 

Untuk teman-teman dan keluarga yang masih berjuang, doa sebesar-besarnya saya kirimkan agar segera diberi kesembuhan dan recovery yang cepat setelah sembuh. Juga untuk yang mengalami kehilangan, turut berdukacita yang mendalam, semoga diberikan kelapangan hati dan keikhlasan untuk menjalani hari-hari berikutnya. Untuk orang-orang yang masih memiliki rasa tidak percaya, semoga tidak harus sampai mengalami sendiri untuk bisa percaya. 

Jangan lupa cari dari manapun dan jenis vaksin apapun yang bisa didapat dan tetap patuhi protokol kesehatan ya... Berdoa untuk kesembuhan dunia ini, Al-Faatihah.


Ps. 
because this post is basically dedicated for my mom, glad that turned out she likes it.
stay healthy mom, ok?



(written originally by Salma Fadhilah at salmafadhilah.blogspot.com)

Komentar

  1. Maasyaa Alloh kakak Salma.. tulisannya sangat bagus.. mengharubirukan perasaan sy.. sungguh ibu sangat beruntung memiliki putri yang sholehah.. tangguh dan berakhlak mulia.. barakAllahu kak Salma. Penyejuk pandangan dan penentram jiwa ibu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin ya rabbal alamiin. Terimakasih tante, semoga keluarga selalu sehat

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Comments are welcomed! Siapa tahu pertanyaan kamu sudah pernah dijawab, jangan lupa cek dulu pertanyaan yang sering ditanya di Jawaban Pertanyaan Umum/Frequetly Asked Questions (FAQ) ya! Jangan lupa juga centang kotak "notify me"/"beritahu saya" supaya ada notification jika pertanyaannya sudah dijawab. Terimakasih :)

Postingan Populer

Agar di Kampus Tak Sekadar Kuliah

Hari ‘Kemerdekaan’ Hati

[Book Review] Student Traveler by Kak Annisa Potter