APEC: Indonesia Untung atau Buntung?

Orang yang cerdas politik pasti bisa membaca adanya rencana jahat dibalik suatu agenda mencurigakan. Diatara berita-berita tentang bahan pangan yang terus melonjak naik, saat ini Indonesia juga di hebohkan dengan berita tentang KTT APEC yang sedang di laksanakan di Bali (1-8 Oktober 2013). Sebelumnya, apa itu APEC? APEC adalah singkatan dari Asia Pacific Economic Cooperation. APEC sendiri memiliki tiga tujuan; pertama, perluasan perdagangan dan investasi, lalu pertumbuhan daya saing global UKM, serta konektivitas antar negara-negara anggota APEC. Nantinya, setelah peraturan-peraturan dari APEC mulai dilaksanakan, maka perdagangan antar negara anggotanya serta impor-ekspor akan semakin mudah. Perdagangan dunia yang sudah bebas akan jadi semakin bebas, bahkan ditambah juga dengan penurunan tarif serta biaya pajak.
Nah, karena adanya program ini, apakah sebenarnya Indonesia diuntungkan? Atau malah dibuntungkan? Secara yang terlihat, Indonesia akan sangat diuntungkan karena bisa dengan mudah dan murahnya mengimpor bahan-bahan pangan. Akhirnya, Indonesia tidak akan lagi mengalami krisis bahan pangan dan menghadapi naiknya harga-harga karena kelangkaan. Hmmm, benarkah?

Sejak misi perdagangan bebas diusung pada tahun 1989 oleh APEC, presiden SBY mengklaim Indonesia memiliki sejumlah capaian ekonomi. Ekonomi Indonesia periode 2004-2009 rata-rata tumbuh 5,5 persen per tahun. Dan pada periode 2009 sd Juni 2013, ekonomi tumbuh rata-rata 5,9 persen per tahun (republika.co.id, 16/8/2013). Tetapi fakta yang terjadi di baliknya, pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati kelompok kaya. Ekonomi tumbuh disertai naiknya kesenjangan pendapatan. Hal ini bisa dilihat dari naiknya rasio gini (diukur 0-1, makin tinggi artinya kesenjangan pendapatan makin tinggi). Berdasarkan data BPS, angka rasio gini terus naik dari 0,32 tahun 2002, 0,357 tahun 2009, 0,38 tahun 2010 dan tahun 2012 naik menjadi 0,41. Rasio 0,41 ini berarti, 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah hanya menikmati 16,88 persen dari total pendapatan, sementara 20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi justru menikmati 48,94 persen dari total pendapatan.

Selain itu, Indonesia malah lebih banyak melakukan impor daripada ekspor. Akibatnya, Indonesia mengalami defisit perdagangan, dan biaya yang dikeluarkan untuk membeli jauh lebih banyak daripada uang yang dihasilkan dari menjual. Ini membuat lenyapnya 6.123 perusahaan. Dampaknya jutaan orang menjadi pengangguran dan kehilangan pekerjaan, termasuk juga para petani karena konsumennya diambil alih oleh pasar impor. Para petani merugi karena masyarakat Indonesia lebih memilih untuk membeli barang-barang impor karena harganya yang menjadi sangat murah.

Tidak hanya itu, pembukaan pintu investasi selebar-lebarnya juga membuat kesamaan derajat atas pemilik modal lokal dan asing. Akibatnya, pihak asing dapat dengan mudahnya menanam modal sebanyak-banyaknya bahkan membeli perusahaan-perusahaan Indonesia. Sumber daya alam Indonesia pun dapat berpindah tangan dengan mudah. Lalu dalam sekejap, habis sudah sumber daya alam kita. Apa yang dinamakan dengan semua ini? Untung atau buntung?

Sistem kapitalis yang berdasarakan oleh asas manfaat dan keuntungan telah merugikan kita, negara kita dan juga dunia. Semua itu harus segera diakhiri. Hal itu tidak bisa terwujud selama sistem kapitalisme yang menjadi dasar berdirinya APEC tetap dipertahankan. Karena itu, sistem kapitalisme ini harus segera dimusnahkan. Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan termasuk pula sistem pemerintahan. Semua ketidakadilan yang terjadi di dunia ini akan hilang lewat penerapan sistem pemerintahan yang berdasar atas syariah Islam secara total di bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Wallâh a’lam. [sf]

Komentar

Postingan Populer

Agar di Kampus Tak Sekadar Kuliah

Hari ‘Kemerdekaan’ Hati

[Book Review] Student Traveler by Kak Annisa Potter