Robot Nasi Adik

Jduk, sruuk! 

Adik tersandung lagi. Kali ini kantong plastik putih yang berukuran lebih dari setengah tinggi badannya itu terjatuh, setelah sebelumnya tubuhnya beradu dengan aspal basah bekas hujan sore tadi. Kuraih kedua tangan kecilnya, dan kuajak ia berdiri. Beberapa basahan air yang menghiasi celana coklatnya kubersihkan seadanya.

“Kak, beraaaat!” kata-kata manjanya itu membuatku tak tega untuk membiarkan.

Kuambil kantong plastik yang terjatuh itu. Kutengok isinya, hanya ada benda berbentuk balok berukuran 70 X 20 X 30 cm itu. Lengkap. Sambil kutuntunnya berjalan menuju mobil di areal parkiran, tak hentinya mulutku berucap soal apa yang terjadi di dalam mall tadi.



“Selalu begini. Janjinya hanya ikut Kakak ke toko buku, akhirnya belok juga ke sana..” ujarku.

“Tapi ini bagus Kaak, robot keluaran terbaruu. Kemarin Adik lihat di TV. Canggih Kak, Teman Adik pasti belum ada yang punya!”, wajah yang menatapku saat ini merengek memintaku setuju dengan pendapatnya.

“Ingatkah kamu Dik, inilah yang dikatakanmu pada Kakak seminggu yang lalu. Saat kamu juga membeli mainan baru. Terbaru lah, paling canggih lah, teman Adik tak ada yang punya lah...” Kuteringat kejadian seminggu lalu, saat ia juga membawa pulang senapan mainan besar ke rumah. Tanganku merogoh kunci mobil di saku. Kubuka pintu pengemudi, juga pintu seberangnya.

“Benar Kak! Kali ini benar, ini yang tercanggih! ...”

Kukemudikan mobilku ke daerah tempat tinggal kami sembari mendengar ocehannya tentang mainan barunya itu. Tentang kehebatannya melawan musuh, senjata ini, itu… Ah, anak-anak sekarang telah diajari tentang kekerasan. Perang. Di setiap serial kartun anak lelaki seumur Adikku ini, tak jarang para tokohnya saling serang satu sama lain. Tak adakah serial yang menceritakan tentang kedamaian dunia, tanpa ada perang maupun permusuhan?

Sampai di rumah, ku antarkan ia ke kamarnya. Di sana, belasan bahkan puluhan mainan robot-robotan sejenis telah menunggu bagaikan prajurit pengaman kamar Adikku ini. Mainan-mainan lain khas anak lelaki pun memenuhi kamarnya. Tersusun di dalam lemari kaca maupun berantakan di sudut kamar, tanda belum selesai dimainkan.

Alih-alih masuk kamar mandi, membersihkan diri dan segera tidur, ia malah membongkar habis mainan yang baru dibelinya. Melihat gelengan kepala plus ekspresi Kakaknya yang agak horor, langsung ia simpan robot barunya di lemari kaca yang masih kosong, kabur ke kamar mandi. Takut mainannya diambil sang Kakak mungkin. Ia pun tidur nyenyak. Senyum-senyum tak jelas menghiasi bibirnya di saat tidur. Sepertinya ia bermimpi menjalankan robot itu dalam perang dengan ia sebagai awaknya. Dasar, adik semata wayangku ini...

Sambil berjalan menuju kamarku di lantai atas, mataku memperhatikan hiasan-hiasan di dinding sisi kanan tangga. Selayaknya rumah sebuah keluarga yang hidup di bagian barat pulau jawa, rumahku dihiasi beberapa ornamen khas sunda seperti wayang maupun hiasan alat musik angklung. Tak lupa pula foto-foto keluarga kecil kami di beberapa kesempatan.

Aku terpaku di salah satu foto, foto masa kecilku. Di foto itu, aku bersama almarhum Kakek sedang bermain di belakang rumah kakek nenekku di daerah pedalaman jawa barat. Di saat almarhumah nenek sedang susah menumbuk untuk memisahkan beras dari sekamnya, aku dan Kakek malah asyik bermain dengan helai-helai sisa padi sisa panen kemarin. Senyum kecil mengembang dari bibirku. Kulanjutkan kembali perjalananku menuju kamar yang tinggal menghitung langkah. Bersegera beristirahat sejenak setelah menghabiskan hari minggu bersama adik tercinta, sebelum besok kembali berkutat dengan tugas akhirku.

-----000-----

Setengah lusin robot-robotan berbagai ukuran dan warna milik Adikku telah memenuhi karpet ruang TV sore ini. Sang pemilik nampaknya asyik dengan sekaleng biskuit yang entah baru ia temukan di sudut lemari sebelah mana. Aku yang lelah baru pulang dari kampus, tak berdaya untuk menceramahinya. Kutaruh tas bersama buku-buku tebalku, duduk di sofa di depannnya dan menyalakan TV.

Berita di TV sore ini miris. Jakarta sebagai kota pusat pemerintahan Indonesia sedang terkena banjir besar. Kiriman dari kotaku katanya. Pernyataan yang mungkin benar, namun tetap saja salah. Di acara berita salah satu stasiun TV ini, seorang reporter sedang berbicara. Ia dengan celananya yang dilipat hingga lutut memegang mic dan payung di tangan sebelahnya karena hujan yang masih berlangsung. Dibelakangnya seorang balita dengan karet ban hitam sebagai pelampung susah payah meraih tangan Kakaknya yang berjalan terburu di belakang sang reporter.

“Kak, sudah lama Adik nggak berenang. Seru sekali mereka bermain air!” suaranya mendekat, diiringi suara kaleng biskuitnya yang terseret.

Aku menolehkan kepalaku ke samping. Adikku dengan kaleng biskuit di tangan kanan dan robot barunya di dekapan kiri terpaku melihat pemandangan di TV itu. Matanya mengerjap-ngerjap tak mengerti. Kuajak ia duduk di sampingku.

“Kakak, mereka kenapa? Air tempat bermain mereka coklat Kak! Kotor...” Ucapannya membuatku mendesah ringan. Tak mudah membuat anak sekecil ini mengerti masalah rumit, yang bahkan pergantian kepala daerah berkali-kali pun tak sanggup menyelesaikannya.

“Adik, mereka tidak sedang bermain. Tak diceritakankah kamu oleh ibu gurumu di sekolah tentang banjir?” Tanganku mendekap Adik kecil ku tersayang itu, yang umurnya bahkan hanya seperempat umurku.

“Mereka sedang sedih, Dik. Air hujan yang banyaak sekali telah merendam rumah-rumah mereka. Bukan hanya rumah, tapi juga sekolah, rumah sakit, pasar...” Kulihat Adikku masih khusyuk mendengarkan sambil masih melihat berita di TV itu. “Sungai-sungai tempat seharusnya air itu mengalir telah dipenuhi sampah.”

“Oh... Untung Adik tak suka membuang sampah di sungai ya Kak. Kasihan sekali mereka...”

“Ya, benar. Kasihan sekali mereka. Tapi tahukah kamu Dik, robot-robotmu dan kaleng-kaleng biskuitmu itu juga ikut mengotori sungai mereka?” Segera tubuh Adikku yang kecil itu mendekap erat robot dan kaleng biskuitnya.

“Benarkah Kak?” Aku tersenyum melihat ekspresi ketakutannya, kulanjutkan kembali kata-kataku yang sempat terputus.

“Ya. Bahan dari robot dan kaleng biskuitmu itu tak kan habis terurai jika...” aku bingung bagaimana melanjutkan penjelasan tentang plastik, logam, terurai, limbah dan hal rumit lainnya. Bingung, pilihan kata-kata apakah yang akan mudah dicernanya. Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal.

“Tapi Kak, ibu guru bilang dinosaurus besar yang mati nantinya akan menjadi fosil, dan fosil itu akan menjadi minyak yang bisa bermanfaat. Tidakkah robot Adik juga begitu?” Sekali lagi kata-katanya membuatku tersenyum.

“Dinosaurus dan robot dinosaurusmu berbeda, Dik… Dinosaurus hidup yang akan mati memang lama kelamaan akan berubah menjadi minyak. Tapi robot plastik dan kaleng biskuit sekalipun sudah lama tidak akan bisa berubah menjadi minyak secara alami, tapi akan tetap menjadi plastic dan kaleng yang malah akan menambah sampah kita. Tidak semudah itu Dik, tidak semudah itu..”, kuacak-acak rambutnya. “Plastik dan logam, seperti yang menyusun robot dan kaleng biskuitmu tak semudah itu terurai. Itu akan menjadi sampah yang lama kelamaan akan menggunung dan mengotori sungai. Hahaha, biarlah.. kamu takkan mengerti hal serumit ini Dik...”

Aku berdiri dan berjalan ke arah meja makan “Hari sudah malam, apa yang ingin kamu santap untuk makan malammu?” Adikku masih terpaku di depan layar TV. Tapi kulihat, beberapa kali ia menganggukkan kepalanya. Ada sedikit ekspresi mengerti dari wajahnya. Tak lama, ia langsung berlari menyusulku yang sudah duduk rapi di meja makan. Meninggalkan sang reporter kehujanan yang payungnya tertiup angin dan terbang.

-----000-----

Usianya minggu ini genap 6 tahun. Tak seperti biasa, kali ini Adikku tak rewel mendata hadiah apa saja yang ingin ia terima di hari ulang tahunnya nanti. Kutemukan ia sibuk menggambar dengan buku gambarnya seusai pulang dari kampus sore ini.

“Tak inginkah kamu robot-robotan baru di hari ulangtahunmu, Dik?”, tawarku dengan semangat. Responnya hanya menggeleng tanpa memindahkan perhatian dari gambar rumah dan matahari yang cerah di bukunya.

“Atau mainan dinosaurus besar? Kemarin ada satu, Kakak lihat di mall. Bagus sekali! Pasti teman Adik tak ada yang punya.”, ia tetap menggeleng. Menaruh crayon biru di kotaknya, mengambil yang merah.

Apa yang salah dengan Adikku kali ini?, pikirku. Responnya yang tak biasa membuatku mengangkat bahu tak mengerti. Merasa menyerah, aku beranjak ke kamar. Sesuatu yang kulihat di perjalanan menuju kamar mengingatkanku akan sesuatu. Sampai di kamar, langsung ku tekan beberapa digit nomor yang ku hafal. Rencana untuk hari ulang tahun Adikku telah ku susun dari sekarang.

Malam itu, giliran tidurku yang dihiasi senyuman. Cicak di dinding kamarku pun bingung, tak mengerti artinya.

-----000-----

“Pamaaaaaaaan!” Adikku berlari dan menghambur ke pelukan Kakak ibuku itu. “Paman sudah lama tak main ke rumah, rindu rasanya bermain bersama Paman!”, wajahnya penuh dengan rona kebahagiaan.

“Hahaha, sudah sering rasanya Paman bermain ke rumah. Memang sekarang waktunya kamu yang bermain ke rumah Paman. Sudah lama sekali, rasanya terakhir saat Kakakmu ini masih di sekolah menengah dan pasti kamu tak ingat apapun.”

Hanya senyuman polos yang diberikan Adikku pada Paman. Memang, terakhir kami bermain ke rumah Paman adalah saat ia baru belajar berjalan.

“Oh ya, mari masuk. Istirahat. Pasti lelah bukan melalui perjalanan dari kota ke rumah Paman di pedalaman desa ini?” Tanpa menunggu jawaban, kedua tangan besar Paman membimbingku dan Adikku masuk ke dalam.

Di samping rumah, seorang anak laki-laki yang usianya sedikit lebih tua dari Adikku duduk membelakangi. Mendengar suara orang masuk rumahnya, ia tolehkan kepalanya menuju arah suara.

“Kak Dani yaa?”, Adikku yang menangkap gerakan itu dari ujung matanya urung masuk ke dalam. Berbelok sambil berlari kecil mendekati. “Main apa Kak?”

“Oh, kamu rupanya. Ini.... ah, ini permainan anak desa. Kamu pasti tak suka. Mana mainan-mainanmu? Biasanya tak cukup satu kamu pegang. Di tangan kanan, tangan kiri, di dalam tas juga...”

Adikku lalu asyik dengan Kakak sepupunya. Duduk asyik berdua di samping rumah di tepi sawah itu. Entah bermain apa. Aku langsung menuju kamar yang disiapkan Paman di dalam. Menaruh tas kami di tempat yang akan kami tempati selama akhir pekan ini.

-----000-----

Belum genap sehari, sudah banyak saja kawan yang dimiliki Adikku. Beberapa anak lelaki berbagai usia bermain bersama Adik dan Dani di pekarangan rumah Paman. Berlarian, sambil sesekali berteriak tak karuan. Berdiri saat disenggol kawannya. Lalu jongkok kembali saat didekati kawan yang lain. Dibawah bingkai pintu rumah paman aku tersenyum, teringat masa kecilku. Sedikit sekali anak-anak di kota yang kulihat dapat seceria mereka.

Rona wajah adikku pun terlihat berbeda, lebih cerah. Lebih cerah daripada saat ia bermain dengan robot-robotannya, senjata plastiknya, bahkan saat bermain games di komputer tablet milikku. Anak-anak sekarang tak banyak bermain dengan alamnya yang indah. Berlarian di bawah mentari sore seperti ini, lebih sehat bukan? Daripada bermain dengan benda-benda mati itu..

“Teringat masa kecilmu ya?”, suara berat paman sedikit mengagetkanku. Tak sadar, paman telah berdiri di belakangku sejak beberapa menit yang lalu.

“Ya, Paman. Anak-anak sekarang tak sehat mainannya. Playstation, robot-robotan.. Sepertinya adikku senang sekali bisa bermain bersama manusia kali ini. Hahaha...”, candaku.

“Hahaha, benar... Tak pernah pula mereka merasakan asyiknya bermain bersama alam. Merasakan asyiknya membuat senjata dari batang pisang, mobil-mobilan dari kulit buah, apalagi yang sering kamu mainkan dulu bersama almarhum kakekmu di belakang rumah ini; wayang dari batang-batang padi...”

Ingatanku melayang kembali ke belasan tahun yang lalu. Tangan-tangan kakek yang tua namun kuat itu merangkaikan batang-batang padi sisa panen di sawah menjadi sesosok manusia kecil. Mengajakku menjelajahi negeri dongeng yang di ciptakannya dengan tokoh-tokoh itu. Tergelak bersama karena cerita yang kadang tak masuk di akal. Di atas saung di pinggir sawahnya, ditemani udara yang sejuk membuai..

“Anak-anak seperti adikmu, itu... Sejak kecil sudah terlalu sibuk dengan dunia modern-nya. Hingga ketika ia beranjak besar dan sadar, bumi sudah tak bisa lagi menjadi tempat bermain bagi mereka, bagi anak-anak cucu mereka. Bumi sudah rusak, sudah tak lagi nyaman bahkan untuk hanya ditempati... ”, paman melanjutkan. Pandangannya lurus ke arah sekelompok anak lekaki yang masih asyik bermain di halaman rumah warisan ayah tercintanya.

“Benar, paman. Teknologi terkadang bisa sangat membantu manusia. Namun di sisi lain, ia menjadikan manusia tak sekreatif seharusnya. Parahnya, teknologi menuntut manusia untuk sedikit demi sedikit menghancurkan tempat tinggal yang membesarkannya. Buminya...”

Lamunanku dan paman tiba-tiba terhenti karena serangan anak-anak yang berebut masuk kedalam, ingin lebih dulu meneguk air di dapur. Keringat tanda metabolisme tubuh berjalan dengan lancar membasahi baju mereka. Adikku terlihat amat lelah. Mungkin baru kali ini ia bermain se-heboh ini. Tak apalah, asalkan ia sehat...

-----000-----

“Kakak, bisakah kakak ajarkan aku membuat robot nasi itu?”, ucapan adikku sore ini mengusikku yang sedang mengerjakan tugas di kamar. Seminggu setelah kami kembali ke rutinitas yang padat di kota.

“Robot nasi, Dik?”, dahi ku mengerut.

“Ya, Kak! Robot nasi! Kawan-kawanku menanyakan bagaimana cara mebuatnya, mereka juga ingin membuat satu seperti milikku. Sayangnya Kak Dani hanya memberiku satu buah...”

Ya ampun, robot nasi!

“Yang kamu maksud wayang padi itu, Dik? Yang kamu bawa dari desa kemarin?”, setelah beberapa saat, baru kusadari apa yang ia maksud dengan robot nasi itu.

“Ya! Wayang! Itu bisa digunakan untuk bermain sama seperti robot-robotku kak! Dan Kak Dani bilang, itu terbuat dari sesuatu yang awalnya membungkus nasi yang biasa ku makan.”

“Hahaha, padi Dik? Ya, memang tanaman padilah asal dari nasi di piringmu itu. Tapi mengapa kawan-kawanmu menginginkan mainan seperti ini? Tak senangkah mereka dengan robot-robotan canggih mereka?”

“Mereka bosan kak, lagipula sepertinya asyik memiliki tokoh dengan bentuk sesuka hati kita. Akupun telah bercerita tentang banjir di Jakarta itu. Kami takut, mainan yang kami beli akan menambah banjir disana... ”, merasa sedikit teralihkan, adikku kembali ke tujuan awalnya. “Ya, kak? Ajari aku ya?”

Senyum lebar kembali mengembang di bibirku. Tak kusangka adikku dapat mengerti hal seperti itu, walau tak sepenuhnya. Andai tak hanya adikku yang berfikir dengan begitu sederhana namun jernih. Agaknya sungai pun semakin jernih, tumpukan sampah berkurang, dan udara semakin bersih. Bumi semakin hijau, dan manusia kembali hidup damai bersamanya...




Salma Fadhilah [Bogor, 20-22 Januari 2013]
Ditulis untuk lomba mengarang Children Helping Children by Tupperware periode 2013 dengan tema Sayangilah Bumi

Komentar

Postingan Populer

Agar di Kampus Tak Sekadar Kuliah

Hari ‘Kemerdekaan’ Hati

[Book Review] Student Traveler by Kak Annisa Potter