Matahari Berhujan


(illust: @hukmasy)

 Cih, hujan lagi? Ujarku dalam hati siang ini. Berdiri di depan sebuah cafĂ©, menatap awan yang menggelap di langit sambil mengadahkan tangan. Merasakan rintik-rintiknya jatuh ke tangan ku. Jauh-jauh hanya untuk merasakan hujan sepanjang hari? Harus bersyukur atau sedih kali ini? Ku menggerutu sambil membuka payung merah mudaku. Pasti setelah ini hujan makin deras, walaupun takkan sederas di kota asalku. Artinya, aku harus segera mengakhiri acara jalan-jalanku di Shibuya, pusat pertokoan yang terkenal memiliki cross line tersibuk di dunia ini. 

Bulan Juni, peralihan antara musim semi dan musim panas di Jepang . Sudah tiga hari berlalu dan hampir setiap hari hujan. Itu membuat trip ku yang terbatas ini menjadi semakin terbatas. Kuakui, trip yang kujalani ini memang sangat tidak pas waktunya. Kenapa tidak bulan april saat bunga sakura sedang mekar-mekarnya? Kenapa harus bulan Juni, disaat bahkan penduduk aslipun tak menyukai bulan ini? Tak bisakah kau hujan tak menggangguku sebentar saja, seminggu saja? Dengan membiarkan aku berpuas diri mengelilingi negeri impianku tanpa hujan yang selalu datang menggangu, tak bisakah?

Tidak ada gunanya aku terus menggerutu, aku ada di sini sekarang. Tak mungkin pula aku tetap berjalan-jalan di areal pertokoan ini, pulang dengan keadaan badan dan seluruh belanjaan basah kuyup. Segera kuputuskan untuk kembali sebelum hujan makin deras. Aku yang menjelajahi negri Jepang  seorang diri, berpisah dari rombongan tur karena kemampuan berbahasa ku yang cukup ini menyetop salah satu taksi berwarna biru. Kusebutkan nama hotel tempatku menginap, dan taksi itu segera melesat menembus hujan yang sesuai perkiraan kian deras membasahi bumi.

Kania, seorang remaja kelas dua SMA berusia 17 tahun yang sangat remaja. Ia seorang yang ceria, selalu penuh dengan teriakan-teriakan mengagetkan tiap harinya. Ia ramah, ekspresif, kreatif dan cerdas. Ia juga adalah seorang yang mandiri, ia bahkan lebih suka menjelajah suatu tempat sendirian, tanpa seorang teman pun menyertainya. Dan yang paling penting, ia dikenal karena dua hal yang bertentangan. Karena sikap postitif dan sikap negatifnya atas dua hal tersebut.

Pertama, karena ketertarikannya yang sangat atas negeri Jepang . Bukan berarti ia seperti para pecinta Jepang  lain yang hanya menyukai komik-komik Jepang  atau anime ala negeri matahari terbit itu. Sibuk bergaya ala tokoh kesukaannya dalam beragam festival cosplay, tapi terdiam jika ditanya tentang kebudayaan dan seluk beluk negeri itu. Sibuk menghafalkan lagu-lagu soundtrack anime favorit mereka, tapi menggeleng jika disuruh mengartikan lagu-lagu yang dilantunkannya. Tidak, ia sama sekali tidak seperti itu.

  Sejak kecil, ia telah tertarik dengan segala hal tentang Jepang . Ayahnya yang pernah tinggal disana selama dua tahun karena beasiswa S2 yang diterimanya bercerita banyak hal tentang negeri yang terkenal sangat disiplin itu. Jepang , dengan segala kehebatan teknologinya, kemajuan pendidikannya, juga kebudayaan yang unik sangat menarik baginya. Sayangnya, ia belum lahir saat itu sehingga ia tak pernah merasakan tinggal di sana. Ia hanya bisa memimpikan untuk juga dapat kuliah dan tinggal di Jepang . Kecintaannya dengan negri itu ia buktikan dengan serius mempelajari kebudayaan serta cara berkomunikasi menggunakan bahasa Jepang dari ayah tersayangnya. Hingga kini ia dapat menjalani trip satu minggu di Jepang karena memenangkan lomba debat berbahasa Jepang  di kedutaan besar Jepang  di Indonesia beberapa saat lalu.

Kedua, ia juga dikenal dengan ketidaksukaannya atas hujan. Ia menganggap hujan adalah perusak suasana, penggagal rencana, serta pembawa bencana. Sayangnya, kini ia tinggal di kota yang terkenal penuh hujan, Bogor. Lahir di Bogor, besar di Bogor dan merasakan hujan tiap hari tak membuat ia terbiasa. Sebaliknya, ia makin mengganggap hujan sebagai musuhnya. Baginya, hujan adalah hal yang paling menyebalkan dalam hidup. Ia selalu merusak suasana hatinya yang selalu ceria menjadi berbeda, bahkan sangat berbeda. 


Dan asal kau tau, gadis yang kuceritakan diatas adalah aku. Kania, yang baru saja terbangun dari tidur setelah menghabiskan sisa hari di kamar hotel karena hujan yang mengguyur Tokyo kemarin. Setengah hari hanya di kamar hotel sungguh membosankan. Kuharap hari ini hujan tak lagi menggangu hariku. Kuawali pagiku dengan harapan-harapan, kubuka jendela hotel di pagi keempatku di negeri ini dengan teriakan khasku,

“Selamat pagi matahari!”, ujarku pada matahari yang baru saja terbit.
Terlihat setengah bulatan merah yang terang itu mulai naik, di sela-sela gedung-gedung pencakar langit ibukota, di ujung pandangan dari jendela hotelku. Beginilah ritual setiap pagiku di Jepang , menikmati matahari terbit di negeri matahari terbit ini dengan segala pesonanya. Masih takjub, walau terhitung ini merupakan matahari terbit ke empatku.

Segera kututup mulutku dengan sebelah tangan, sepertinya suaraku terlalu besar. Semoga saja suara nyaringku di pagi buta ini tak membangunkan para pemenang trip lain yang sepertinya masih pulas tidur di kanan kiri kamar hotelku.

“Kuharap, matahari terbit hari ke empat di negeri matahari terbitku ini akan terus bersinar cerah! Tak lagi bersembunyi karena hujan yang selalu mengganggu kesenanganku akhir-akhir ini!”, lanjutku dengan suara yang tak sebesar sebelumnya, takut mengundang teriakan-teriakan lain dari orang-orang yang murka pagi sunyinya terganggu oleh teriakan cempreng seorang remaja labil.

Kuakhiri romantismeku dengan matahari di awal pagi ini. Kedinginan, karena membuka jendela terlalu lama. Kusegera bersiap, memulai menjalani hari yang penuh dengan list kegiatan yang telah ku susun bahkan ketika masih di Indonesia. Tokyo Daigaku atau disingkat Todai, sebagai universitas terbaik di Jepang  adalah tujuanku hari ini. Kukunci pintu kamar hotelku, turun ke bawah dan sarapan. Lalu kutinggalkan hotelku di tengah kota tokyo dan kutempuh perjalanan ke Todai dengan bus.

Todai hari ini tidak terlalu ramai. Mungkin karena hari ini hari minggu, jadi semua orang terbebas dari kesibukan kampus yang biasa mereka jalani di hari-hari biasa. Todai, the University of Tokyo, wait for me for two years. I promise I’ll be here soon… Hatiku berkata sembari mataku memandang gedung kampus impianku itu dari dekat. Walaupun cuaca tak terlalu bagus hari ini, ku langkahkan kakiku memasuki areal kampus. Meneliti setiap sudut kampus ayahku ini dengan cermat. Menapaki jejak-jejak masa mudanya dulu, sambil mengingat-ingat kisah yang selalu ayah ceritakan tentang kampus kebanggaannya.

Aku sangat menikmati hari-hariku di sini. Walaupun hanya aku dan kamera digital single lens reflex-ku yang selalu setia mengabadikan tiap momen berharga hidupku ini. Apapun, asal bisa menjejak bahkan mengabadikan tiap sudut kota Jepang  yang inspiratif, dengan segala keunikannya. Jepang yang biasanya hanya kudengar dari cerita-cerita ayah akhirnya dapat kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Ternyata ayah tak berbohong. Jepang memang cantik, teramat cantik.

Pegal kakiku baru terasa ketika ku duduk di halte bus yang kulewati, setelah menjelajahi sebagian area kampus. Todai terlalu luas untuk dijelajahi hanya dalam sehari. Takkan cukup. Bahkan inipun baru satu kampus, masih ada beberapa kampus Todai lain yang tersebar di Tokyo.

Saat kuluruskan kaki untuk beristirahat sejenak di halte yang kosong itu, sesuatu terjadi. Langit kembali berubah gelap. Udara yang awalnya telah dingin menjadi lebih dingin. Matahari menarik diri dan bersembunyi di balik awan. Kurapatkan resleting jaket tebalku, kupakai penutup kepalanya. Firasat tak enakku muncul. Firecaster di siaran TV pagi tadi ternyata tak berbohong. Kini sepertinya hujan akan segera datang. Lagi.

image source: 
feelgrafix.com

Dan benar saja, tak lama kemudian dataran Tokyo kembali dibasahi tumpahan air dari langit. Tak menunggu lama setelah rintik-rintiknya sampai di bumi, hujan semakin membesar. Orang-orang berlarian mencari tempat berteduh, membuka payung-payung aneka warna untuk menutupi kepala mereka. Benar, bukan hanya aku yang benci hujan. Buktinya semua orang berlarian saat ia datang, bukannya bersuka hati dan menyambutnya dengan senyum. Seketika hujan berhasil menggugurkan keceriaaku yang telah terkumpul seharian ini.

Untung aku sudah berada di bawah halte bus ini, setidaknya aku punya tempat berteduh sementara. Kuperhatikan beberapa orang yang tak membawa payung berlarian masuk ke dalam halte. Seorang nenek, dua orang gadis, serta seorang bocah lelaki kecil ikut berteduh di sekitarku. Aku tak peduli. Hujan sekali lagi telah merubah moodku. Untung di Shibuya kemarin aku tak jadi membeli tiket dan memilih untuk pergi ke Tokyo DisneyLand hari ini. Jika iya, pasti akan sayang sekali.

Aku masih sibuk meratapi segala hal, tanpa menyadari bahwa tinggal aku dan nenek itu yang masih berada di halte ini.

“Apa yang terjadi gadis kecil?” Sapaan nenek itu mengagetkanku dan menghentikan racauanku sesaat. Mungkin ia merasa aneh setelah melihat wajahku yang suram dan mendengar gerutuan-gerutuan yang tak jelas dari mulutku ini. Umurnya sekitar 70 tahun, di tangannya ada kantong belanjaan. Sepertinya ia baru selesai berbelanja dan lupa membawa payung. Aneh, warga Jepang  asli yang tau bahwa di bulan Juni pasti hujan selalu turun bisa-bisanya tak membawa payung…

“Eeh… Tidak, hanya saja… Hujan menghancurkan segalanya, bukan begitu?” Jawabku dengan bahasa Jepang , meminta persetujuan nenek itu. Semua orang pasti berpikiran sama denganku, pasti.

“Oh, hahaha! Pasti kau punya satu teru teru bozu yang menggantung di jendela kamarmu ya, benar?” Nenek itu menatapku, dan melemparkan senyumannya.

Fikiranku melayang ke kamarku di rumah, memang benar. Sebuah boneka dari kain putih dengan kepala bundar yang terkenal sebagai boneka penangkal hujan itu tergantung di jendela kamarku. Walau begitu, Bogor tetap saja sering hujan…


“Ya, nek. Aku memang tak menyukai hujan. Aku pikir, hujan itu menyebalkan.” kutendang batu dikakiku hingga terlempar ke genangan air di hadapanku, membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang membesar dan akhirnya menghilang. “Mengapa di dunia harus ada hujan…”

“Ya, bahkan kami sendiri warga asli Jepang  paling tidak menyukai bulan Juni. Bulan ini lembab, hujan turun hampir setiap hari, dan suhu bisa mencapai hingga 12 derajat celcius dinginnya. Memang bukan waktu yang menyenangkan untuk keluar rumah…” Pandangan nenek itu tak lagi mengarah padaku, kini pandangannya lurus ke depan. “Namun justru ada sesuatu yang indah yang hanya ada pada bulan ini…”

“Huh? Yang indah di bulan seperti ini? Bukankah semua yang terselimuti hujan takkan menyenangkan?” Tanyaku mencari penjelasan. Tadi nenek ini setuju, tapi sesaat kemudian seakan menentangku. Aneh.

“Jangan salah! Bahkan ia tak kalah dari bunga sakura yang mekar pada bulan april. Walaupun tak banyak orang yang tahu…” Melihat ku tak merespon, nenek itu melanjutkan. “Maukah kau mengetahuinya, anak muda?

“Selain bunga sakura, kami meyakini ada satu bunga lain yang merupakan bunga asli Jepang . Ajisai, bunga yang hanya tumbuh disaat hujan turun setiap hari di Jepang , bulan Juni. Kebanyakan dari bunga ini berwarna biru, namun kau bisa menemuinya dalam warna lain jika beruntung. Ia terdiri dari empat buah kelopak kecil yang berkumpul menjadi satu kelompok hingga membentuk setengah lingkaran. Mungkin ia juga tumbuh di negaramu, bukankah kau berasal dari benua asia?”

Nenek itu pasti menyadari bahwa aku bukan orang Jepang  asli karena gerutuan dengan bahasa yang aneh baginya tadi. Juga karena terkadang bahasa Jepang ku yang masih terbatas ini belum terdengar seperti penutur asli. Aku masih harus banyak belajar untuk memperbagus bahasa Jepang ku. Oh ya, lagipula wajahku tak menampakkan bahwa aku memiliki keturunan Jepang.

“Oh ya nek, aku tahu! Di negara kami Indonesia, kami menyebutnya sebagai bunga Hortensia. Hydrangea nama latinnya. Ia banyak ditemui di kotaku yang lebih sering hujan dibandingkan kota lainnya.” Ingatanku melayang ke tanaman perdu yang nenek tanam di depan rumahnya. Oh, tumbuhan itu…

“Ya! Dari Jepang lah bunga itu berasal.” Nenek itu mengatakannya dengan penuh bangga. “Padang bunga ajisai di bulan Juni akan terlihat seperti hamparan karpet hijau berpolkadot biru. Bisa kau bayangkan bagaimana bentuknya?”

Aku terkekeh sedikit. Nenek ini berhasil menurunkan kadar badmoodku di tengah hujan yang tak kunjung berhenti ini. Bisa kubayangkan jika keadaannya berbeda, aku bisa mengurung diri di rumah dengan muka yang ditekuk hanya karena tak bisa pergi keluar karena hujan.

“Ceritakan padaku nek, ceritakan!” rengekku seperti seorang anak kecil yang meminta dibelikan permen oleh ibunya. Kania dengan keceriaannya kembali. Aku bahkan bisa merengek kepada seorang nenek yang baru saja kutemui seperti merengek kepada nenek sendiri.

“Hahaha, ya. Kau gadis yang bersemangat. Aku baru saja akan menceritakannya padamu.” Nenek itu menggeser badannya hingga kini ia duduk tepat di sebelahku. Ia melanjutkan. “Walaupun tak seindah bunga sakura, tapi ia punya keistimewaan yang menginspirasi seluruh warga Jepang  hingga kami semua mencintainya. Kau bisa bayangkan sehebat apa dia… 

image source: www.finegardening.com

“Masa mekar Ajisai terbilang lama. Ia dapat mekar sepanjang Tsuyu, peralihan musim penuh hujan di Jepang  yang berlangsung 1 hingga 2 bulan. Ia sangat tangguh. Ia dapat bertahan menghadapi angin kencang dan hujan yang datang setiap hari pada masa masa ini. Walaupun ia terlihat rapuh dengan bunga-bunga tunggalnya yang kecil, namun siapa sangka ia bisa sekuat itu. Saking kokohnya ia menempel pada tangkainya, bahkan saat ia telah layu dan berubah warna menjadi kecoklatan, ia takkan gugur. Ia akan terus menempel pada tangkainya, hingga perawat tanaman ini sendiri yang akan memangkasnya.”

Kudengar kata demi kata dari nenek yang luar biasa ini dengan cermat. Tak kulepaskan pandanganku dari ia yang sedari tadi bertutur dengan semangat. Nenek ini hebat, usia tua tak membuatnya lemah dan tak membuat hidupnya tak bergairah. Terbukti dengan segala belanjaan yang ia bawa, ia masih kuat berbelanja ini itu di usia setua ini. Orang-orang Jepang  memang terkenal dengan umur orang-orangnya yang panjang karena gaya hidup yang sehat.

“Seperti yang kubilang tadi, kami warga Jepang  sangat mencintai bunga ini. Sejak zaman dahulu, para nenek moyang kami hingga mengabadikannya dalam syair-syair tradisional Jepang.” Ia berhenti, memandangku sejenak. Tersenyum.

“Kau masih muda nak, kau harus mekar laksana Ajisai kami…” Tangannya menengadah, merasakan rintik-rintik hujan membasahi tangannya yang mulai keriput. “Kau harus tegar laksana ia yang kokoh tumbuh dan mekar diantara terjangan angin dan hujan. Kau harus tetap menghadapi segala yang menerjang dengan segala keindahanmu, memegang prinsip dengan teguh hingga akhirnya kau layu dalam perjuanganmu…


image source: www.flowermeaning.com

“Hahaha, maaf aku terhipnotis dengan keindahan ajisai di tengah hujan yang menginspirasi. Apakah pilihan kataku amat berat?” Ujarnya saat melihat ku terbengong dengan segala kata-kata puitisnya.

“Oh, eh… Tidak!” tapi kuakui kata-katanya memang nyeni. Penuh dengan kata-kata berbunga dan kiasan. Tak seperti syair-syair Indonesia lama yang tercetak di buku paket antropologiku, justru itu yang membuatnya langsung masuk. Tepat ke hatiku.

“Intinya, anak muda… Jangan biarkan sedikit hujan itu mematahkan semangatmu. Membuatmu merasa harimu hancur seketika saat hujan datang. Aku tahu apa saja yang kau ucapkan tadi saat hujan baru turun. Walau tak sepenuhnya.”

“Hah? Bagaimana bisa nek? Bukankah aku tadi menggerutu bukan dalam bahasa Jepang?” Aku terkaget, jadi ini sebabnya ia langsung menyapaku saat itu? bagaimana ia mengerti, apakah sebenarnya ia orang Indonesia yang berpura-pura menjadi orang asli Jepang?

Hahaha. Aku tahu kau tadi berbicara dengan bahasa Indonesia. Mudah saja, suami anakku orang asli Indonesia. Jadi aku mengerti sedikit kata-katamu tadi. Tapi itu tidak penting, kau menangkap baik seluruh ocehan orang tua ini sejak tadi kan?

Ku anggukkan kepalaku dengan bersemangat, tersenyum. Sungguh beruntung bertemu nenek ini di tengah-tengah situasi yang awalnya sangat menyebalkan. Pertemuanku dengannya membuat waktu-waktuku terjebak di tengah hujan ini menjadi menyenangkan.

“Terima kasih, nek… ” Nenek itu membalas senyumanku. Seiring dengannya, langit kota Tokyo sedikit-demi sedikit mulai kembali cerah. Memisahkan pertemuanku yang hanya sesaat ini dengan seorang nenek yang mengagumkan. Yang saking terkagumnya aku hingga tak sempat berkenalan dan bertanya namanya. Terimakasih banyak nek, terimakasih… 

               

Roda-roda koperku bergulir, mengikuti arah kakiku ini melangkah. Menapaki kembali tanah air setelah seminggu berada di negri orang. Belum puas, namun cukup mengobati kerinduanku setelah bertahun-tahun dicekoki ayah tentang keindahannya. Setelah landing penerbangan ku dari Tokyo International Airport di Indonesia ini, satu nama yang kutunggu untuk terlihat di layar ponselku. Ayah. Ayah tak segera menelepon, walaupun aku telah mengiriminya pesan bahwa aku telah tiba di Indonesia.

Di sebuah restoran cepat saji masih di bandara, kulepas penatku setelah menjalani penerbangan yang tak sebentar sejak pagi tadi. Ku panggil pramusaji yang sedari tadi berjalan mondar-mandir. Dari sederet menu yang tertulis, aku hanya memesan segelas lemon tea dingin untuk menemaniku. Ku duduk di sudut café itu, sekali lagi seorang diri. Ditemani kamera ku yang tergantung di leher.

Sembari melihat-lihat foto-foto selama trip ku di Jepang, kurasakan sesuatu di kantong celanaku bergetar. Baru kusadari bahwa itu adalah tanda panggilan masuk ke ponselku, sejak turun dari pesawat tadi aku masih menyalakan mode silent. Nama contact yang sedari tadi kutunggu, Ayah.

 Tanpa menunggu satu katapun darinya, seperti biasa, aku dengan segala tingkah ku yang nyentrik membombardirnya dengan segala macam jenis laporan.

“Ayaaaaaaaah! Ayah ternyata tak berbohong, Jepang indaaah sekali!” Ujarku dengan menggebu-gebu. Sekali lagi, membuat orang-orang di sekitarku menoleh karena terganggu suara seorang anak kelas dua sma yang mengalihkan aktifitasnya. Dengan bahasa tubuh, aku meminta maaf. Menempelkan kedua tangan dan menganggguk-angguk. Untungnya mereka segera kembali ke kesibukan masing-masing. 

“Hahaha, kau tau. Ayah tak pernah berbohong padamu...” Suara ayahku menjawab dari pulau seberang. Ia sedang tak berada di kotaku, ia sedang tak berada di rumah. Menjalani sebuah proyek baru di sana. Oleh karena itu aku tak sabar untuk segera menceritakan semua cerita menyenangkanku padanya.

“Di hari keempatku, aku sempat mengunjungi kampus ayah dulu, Todai! Aku harap dua tahun lagi aku bisa datang lagi ke sana, bukan hanya datang tapi tinggal dan menuntut ilmu disana, yah! Aku jatuh cinta!”

“Ya, sepertinya kampus ayah dulu itu takkan berubah jauh. Masih semengagumkan dulu, betul? Oh ya, bagaimana bulan Juni disana, Kania? Tak kau rasakankah ia mengganggumu setiap hari, sepanjang hari?”

Aku terdiam sesaat, mengingat ingat hari pertamaku disana yang langsung disambut hujan sesaat setelah keluar dari bandara. Hari kedua, saat aku dan seluruh rombongan menjalani tur seharian di dalam bus karena hujan yang sejak pagi mengguyur, memaksa kami untuk menikmati keindahannya dari balik jendela. Hari ketiga di Shibuya. Hingga hari ke empat…

“Awalnya semua memang terasa menyebalkan, yah… ” Jawabku setelah terdiam sesaat. “Namun akhirnya aku sadar suatu hal. Aku tak bisa terus menerus begini, membenci hujan tanpa alasan yang dapat diterima. Rela ia menggancurkan hariku sesaat setelah tetesan airnya menyentuh bumi, padahal ia datang dengan damai bahkan membawa segala kebaikan. Menumbuhkan segala macam tanaman, memberi air bagi tanah yang retak kekeringan. Bahkan air yang berada di gelas lemon tea-ku sekarang, hujan adalah salah satu bagian dari siklusnya…”

“Wah, gadis kecil ayah telah dewasa sekarang.” Ayahku menjawab, dengan nada menyebalkan yang sejak kecil kukenal.
“Hahaha, ya ayah… Gadis kecilmu ini telah terasuki sesuatu yang terbawa dari Jepang!”, gurauku.

Setelah sesaat itu, kami berdua tertawa lepas. Menghentikan suasana melankolis yang kuhadirkan sebelumnya. Mungkin aneh bagi ayah. Aku yang selama ini membenci hujan dapat mengatakan serangkaian kata ajaib itu. Aku bisa membaca pikirannya, pasti didalam hatinya ia berkata: setan apa yang merasuki anakku ini?

Aku dan ayah terhanyut dalam cerita-cerita menyenangkan yang kubawa dari Jepang. Sibuk membandingkan, dengan keadaan saat ayah kuliah dulu. Seiring berjalannya waktu pasti sunggguh banyak yang telah berubah, drastis. Se-drastis perubahan perasaanku, tentang Jepang dan hujan…

Segala yang kulalui membuatku semakin bersemangat untuk dapat melanjutkan studiku di Jepang. Dengan beasiswa kalau bisa, agar tak menambah beban orangtuaku yang selama ini telah sangat baik pada anaknya ini. Tentu saja, walau ujian nasional baru akan kuhadapi dua tahun lagi, aku akan berjuang untuk Todai mulai sekarang.

Dan perasaanku tentang hujan… Kau tahu jelas bagaimana perasaanku. Biarlah teru teru bozu-ku tetap menggantung di jendela kamar di rumah. Namun tentunya, sekarang aku takkan membiarkan hujan menghancurkan hariku lagi. Takkan kubiarkan hujan semudah itu menghalagi usahaku dalam menggapai cita-cita. Walaupun hari mendung dan gelap, api semangatku takkan bisa dipadamkannya. Aku akan terus berdiri tegak, tegar. Kania harus bisa setegar bunga Ajisa yang mekar di negeri matahari terbit pada bulan penuh hujan…

Aku, Jepang, dan Hujan. Kembali menjadi satu kesatuan yang kini tak lagi bertentangan, namun justru tak dapat dipisahkan. Kania yang baru akan membuktikan, tak ada lagi alasan yang dapat menghalanginya. Sekalipun intensitas hujan di kota hujan-nya bertambah menjadi tujuh kali lipat.


Salma Fadhilah [Bogor, 23-24 Februari 2013]
Ditulis untuk lomba mengarang Aku Dia dan Hujan dari penerbit Gradien Mediatama dengan kategori Inspirasi


Illustration by
@hukmasy 

Komentar

Postingan Populer

Agar di Kampus Tak Sekadar Kuliah

Hari ‘Kemerdekaan’ Hati

[Book Review] Student Traveler by Kak Annisa Potter