(illust: @hukmasy) |
Cih, hujan lagi? Ujarku dalam hati siang ini. Berdiri di depan sebuah café, menatap awan yang menggelap di langit sambil mengadahkan tangan. Merasakan rintik-rintiknya jatuh ke tangan ku. Jauh-jauh hanya untuk merasakan hujan sepanjang hari? Harus bersyukur atau sedih kali ini? Ku menggerutu sambil membuka payung merah mudaku. Pasti setelah ini hujan makin deras, walaupun takkan sederas di kota asalku. Artinya, aku harus segera mengakhiri acara jalan-jalanku di Shibuya, pusat pertokoan yang terkenal memiliki cross line tersibuk di dunia ini.
Bulan Juni, peralihan antara musim semi dan
musim panas di Jepang . Sudah tiga hari berlalu dan hampir setiap hari hujan. Itu
membuat trip ku yang terbatas ini menjadi semakin terbatas. Kuakui, trip yang
kujalani ini memang sangat tidak pas waktunya. Kenapa tidak bulan april saat
bunga sakura sedang mekar-mekarnya? Kenapa harus bulan Juni, disaat bahkan
penduduk aslipun tak menyukai bulan ini? Tak bisakah kau hujan tak
menggangguku sebentar saja, seminggu saja? Dengan membiarkan aku berpuas diri mengelilingi
negeri impianku tanpa hujan yang selalu datang menggangu, tak bisakah?
Tidak ada gunanya aku terus menggerutu, aku ada
di sini sekarang. Tak mungkin pula aku tetap berjalan-jalan di areal pertokoan
ini, pulang dengan keadaan badan dan seluruh belanjaan basah kuyup. Segera
kuputuskan untuk kembali sebelum hujan makin deras. Aku yang menjelajahi negri Jepang
seorang diri, berpisah dari rombongan
tur karena kemampuan berbahasa ku yang cukup ini menyetop salah satu taksi
berwarna biru. Kusebutkan nama hotel tempatku menginap, dan taksi itu segera
melesat menembus hujan yang sesuai perkiraan kian deras membasahi bumi.
Kania, seorang remaja kelas dua SMA berusia 17
tahun yang sangat remaja. Ia seorang yang ceria, selalu penuh dengan
teriakan-teriakan mengagetkan tiap harinya. Ia ramah, ekspresif, kreatif dan
cerdas. Ia juga adalah seorang yang mandiri, ia bahkan lebih suka menjelajah
suatu tempat sendirian, tanpa seorang teman pun menyertainya. Dan yang paling
penting, ia dikenal karena dua hal yang bertentangan. Karena sikap postitif dan
sikap negatifnya atas dua hal tersebut.
Pertama, karena ketertarikannya yang sangat
atas negeri Jepang . Bukan berarti ia seperti para pecinta Jepang lain yang hanya menyukai komik-komik Jepang atau anime ala negeri matahari terbit itu.
Sibuk bergaya ala tokoh kesukaannya dalam beragam festival cosplay, tapi
terdiam jika ditanya tentang kebudayaan dan seluk beluk negeri itu. Sibuk menghafalkan
lagu-lagu soundtrack anime favorit mereka, tapi menggeleng jika disuruh
mengartikan lagu-lagu yang dilantunkannya. Tidak, ia sama sekali tidak seperti
itu.
Sejak
kecil, ia telah tertarik dengan segala hal tentang Jepang . Ayahnya yang pernah
tinggal disana selama dua tahun karena beasiswa S2 yang diterimanya bercerita
banyak hal tentang negeri yang terkenal sangat disiplin itu. Jepang , dengan segala
kehebatan teknologinya, kemajuan pendidikannya, juga kebudayaan yang unik sangat
menarik baginya. Sayangnya, ia belum lahir saat itu sehingga ia tak pernah
merasakan tinggal di sana. Ia hanya bisa memimpikan untuk juga dapat kuliah dan
tinggal di Jepang . Kecintaannya dengan negri itu ia buktikan dengan serius
mempelajari kebudayaan serta cara berkomunikasi menggunakan bahasa Jepang dari
ayah tersayangnya. Hingga kini ia dapat menjalani trip satu minggu di Jepang
karena memenangkan lomba debat berbahasa Jepang di kedutaan besar Jepang di Indonesia beberapa saat lalu.
Kedua, ia juga dikenal dengan ketidaksukaannya
atas hujan. Ia menganggap hujan adalah perusak suasana, penggagal rencana,
serta pembawa bencana. Sayangnya, kini ia tinggal di kota yang terkenal penuh
hujan, Bogor. Lahir di Bogor, besar di Bogor dan merasakan hujan tiap hari tak
membuat ia terbiasa. Sebaliknya, ia makin mengganggap hujan sebagai musuhnya.
Baginya, hujan adalah hal yang paling menyebalkan dalam hidup. Ia selalu
merusak suasana hatinya yang selalu ceria menjadi berbeda, bahkan sangat
berbeda.
Dan asal kau tau, gadis yang kuceritakan diatas
adalah aku. Kania, yang baru saja terbangun dari tidur setelah menghabiskan
sisa hari di kamar hotel karena hujan yang mengguyur Tokyo kemarin. Setengah
hari hanya di kamar hotel sungguh membosankan. Kuharap hari ini hujan tak lagi
menggangu hariku. Kuawali pagiku dengan harapan-harapan, kubuka jendela hotel
di pagi keempatku di negeri ini dengan teriakan khasku,
“Selamat pagi matahari!”, ujarku pada matahari
yang baru saja terbit.
Terlihat setengah bulatan merah yang terang itu
mulai naik, di sela-sela gedung-gedung pencakar langit ibukota, di ujung
pandangan dari jendela hotelku. Beginilah ritual setiap pagiku di Jepang ,
menikmati matahari terbit di negeri matahari terbit ini dengan segala
pesonanya. Masih takjub, walau terhitung ini merupakan matahari terbit ke
empatku.
Segera kututup mulutku dengan sebelah tangan, sepertinya
suaraku terlalu besar. Semoga saja suara nyaringku di pagi buta ini tak
membangunkan para pemenang trip lain yang sepertinya masih pulas tidur di kanan
kiri kamar hotelku.
“Kuharap, matahari terbit hari ke empat di
negeri matahari terbitku ini akan terus bersinar cerah! Tak lagi bersembunyi
karena hujan yang selalu mengganggu kesenanganku akhir-akhir ini!”, lanjutku
dengan suara yang tak sebesar sebelumnya, takut mengundang teriakan-teriakan
lain dari orang-orang yang murka pagi sunyinya terganggu oleh teriakan cempreng
seorang remaja labil.
Kuakhiri romantismeku dengan matahari di awal
pagi ini. Kedinginan, karena membuka jendela terlalu lama. Kusegera bersiap, memulai
menjalani hari yang penuh dengan list kegiatan yang telah ku susun bahkan
ketika masih di Indonesia. Tokyo Daigaku atau disingkat Todai, sebagai universitas
terbaik di Jepang adalah tujuanku hari
ini. Kukunci pintu kamar hotelku, turun ke bawah dan sarapan. Lalu kutinggalkan
hotelku di tengah kota tokyo dan kutempuh perjalanan ke Todai dengan bus.
Todai hari ini tidak terlalu ramai. Mungkin
karena hari ini hari minggu, jadi semua orang terbebas dari kesibukan kampus yang
biasa mereka jalani di hari-hari biasa. Todai, the University of Tokyo, wait
for me for two years. I promise I’ll be here soon… Hatiku berkata sembari
mataku memandang gedung kampus impianku itu dari dekat. Walaupun cuaca tak
terlalu bagus hari ini, ku langkahkan kakiku memasuki areal kampus. Meneliti
setiap sudut kampus ayahku ini dengan cermat. Menapaki jejak-jejak masa mudanya
dulu, sambil mengingat-ingat kisah yang selalu ayah ceritakan tentang kampus
kebanggaannya.
Aku sangat menikmati hari-hariku di sini. Walaupun
hanya aku dan kamera digital single lens reflex-ku yang selalu setia
mengabadikan tiap momen berharga hidupku ini. Apapun, asal bisa menjejak bahkan
mengabadikan tiap sudut kota Jepang yang
inspiratif, dengan segala keunikannya. Jepang yang biasanya hanya kudengar dari
cerita-cerita ayah akhirnya dapat kulihat dengan mata kepalaku sendiri.
Ternyata ayah tak berbohong. Jepang memang cantik, teramat cantik.
Pegal kakiku baru terasa ketika ku duduk di
halte bus yang kulewati, setelah menjelajahi sebagian area kampus. Todai
terlalu luas untuk dijelajahi hanya dalam sehari. Takkan cukup. Bahkan inipun
baru satu kampus, masih ada beberapa kampus Todai lain yang tersebar di Tokyo.
Saat kuluruskan kaki untuk beristirahat sejenak
di halte yang kosong itu, sesuatu terjadi. Langit kembali berubah gelap. Udara
yang awalnya telah dingin menjadi lebih dingin. Matahari menarik diri dan
bersembunyi di balik awan. Kurapatkan resleting jaket tebalku, kupakai penutup
kepalanya. Firasat tak enakku muncul. Firecaster di siaran TV pagi tadi
ternyata tak berbohong. Kini sepertinya hujan akan segera datang. Lagi.
feelgrafix.com
feelgrafix.com
Dan benar saja, tak lama kemudian dataran Tokyo
kembali dibasahi tumpahan air dari langit. Tak menunggu lama setelah rintik-rintiknya
sampai di bumi, hujan semakin membesar. Orang-orang berlarian mencari tempat
berteduh, membuka payung-payung aneka warna untuk menutupi kepala mereka. Benar,
bukan hanya aku yang benci hujan. Buktinya semua orang berlarian saat ia
datang, bukannya bersuka hati dan menyambutnya dengan senyum. Seketika
hujan berhasil menggugurkan keceriaaku yang telah terkumpul seharian ini.
Untung aku sudah berada di bawah halte bus ini,
setidaknya aku punya tempat berteduh sementara. Kuperhatikan beberapa orang
yang tak membawa payung berlarian masuk ke dalam halte. Seorang nenek, dua
orang gadis, serta seorang bocah lelaki kecil ikut berteduh di sekitarku. Aku
tak peduli. Hujan sekali lagi telah merubah moodku. Untung di Shibuya
kemarin aku tak jadi membeli tiket dan memilih untuk pergi ke Tokyo DisneyLand
hari ini. Jika iya, pasti akan sayang sekali.
Aku masih sibuk meratapi segala hal, tanpa
menyadari bahwa tinggal aku dan nenek itu yang masih berada di halte ini.
“Apa yang terjadi gadis kecil?” Sapaan nenek
itu mengagetkanku dan menghentikan racauanku sesaat. Mungkin ia merasa aneh setelah
melihat wajahku yang suram dan mendengar gerutuan-gerutuan yang tak jelas dari
mulutku ini. Umurnya sekitar 70 tahun, di tangannya ada kantong belanjaan. Sepertinya
ia baru selesai berbelanja dan lupa membawa payung. Aneh, warga Jepang asli yang tau bahwa di bulan Juni pasti hujan selalu
turun bisa-bisanya tak membawa payung…
“Eeh… Tidak, hanya saja… Hujan menghancurkan
segalanya, bukan begitu?” Jawabku dengan bahasa Jepang , meminta persetujuan
nenek itu. Semua orang pasti berpikiran sama denganku, pasti.
“Oh, hahaha! Pasti kau punya satu teru teru
bozu yang menggantung di jendela kamarmu ya, benar?” Nenek itu menatapku,
dan melemparkan senyumannya.
Fikiranku melayang ke kamarku di rumah, memang
benar. Sebuah boneka dari kain putih dengan kepala bundar yang terkenal sebagai
boneka penangkal hujan itu tergantung di jendela kamarku. Walau begitu, Bogor
tetap saja sering hujan…
“Ya, nek. Aku memang tak menyukai hujan. Aku
pikir, hujan itu menyebalkan.” kutendang batu dikakiku hingga terlempar ke
genangan air di hadapanku, membentuk lingkaran-lingkaran kecil yang membesar
dan akhirnya menghilang. “Mengapa di dunia harus ada hujan…”
“Ya, bahkan kami sendiri warga asli Jepang paling tidak menyukai bulan Juni. Bulan ini
lembab, hujan turun hampir setiap hari, dan suhu bisa mencapai hingga 12
derajat celcius dinginnya. Memang bukan waktu yang menyenangkan untuk keluar
rumah…” Pandangan nenek itu tak lagi mengarah padaku, kini pandangannya lurus
ke depan. “Namun justru ada sesuatu yang indah yang hanya ada pada bulan ini…”
“Huh? Yang indah di bulan seperti ini? Bukankah
semua yang terselimuti hujan takkan menyenangkan?” Tanyaku mencari penjelasan.
Tadi nenek ini setuju, tapi sesaat kemudian seakan menentangku. Aneh.
“Jangan salah! Bahkan ia tak kalah dari bunga
sakura yang mekar pada bulan april. Walaupun tak banyak orang yang tahu…”
Melihat ku tak merespon, nenek itu melanjutkan. “Maukah kau mengetahuinya, anak
muda?
“Selain bunga sakura, kami meyakini ada satu
bunga lain yang merupakan bunga asli Jepang . Ajisai, bunga yang hanya
tumbuh disaat hujan turun setiap hari di Jepang , bulan Juni. Kebanyakan dari
bunga ini berwarna biru, namun kau bisa menemuinya dalam warna lain jika
beruntung. Ia terdiri dari empat buah kelopak kecil yang berkumpul menjadi satu
kelompok hingga membentuk setengah lingkaran. Mungkin ia juga tumbuh di
negaramu, bukankah kau berasal dari benua asia?”
Nenek itu pasti menyadari bahwa aku bukan orang
Jepang asli karena gerutuan dengan
bahasa yang aneh baginya tadi. Juga karena terkadang bahasa Jepang ku yang
masih terbatas ini belum terdengar seperti penutur asli. Aku masih harus
banyak belajar untuk memperbagus bahasa Jepang ku. Oh ya, lagipula wajahku tak
menampakkan bahwa aku memiliki keturunan Jepang.
“Oh ya nek, aku tahu! Di negara kami Indonesia,
kami menyebutnya sebagai bunga Hortensia. Hydrangea nama latinnya. Ia
banyak ditemui di kotaku yang lebih sering hujan dibandingkan kota lainnya.” Ingatanku
melayang ke tanaman perdu yang nenek tanam di depan rumahnya. Oh, tumbuhan
itu…
“Ya! Dari Jepang lah bunga itu berasal.” Nenek
itu mengatakannya dengan penuh bangga. “Padang bunga ajisai di bulan Juni akan
terlihat seperti hamparan karpet hijau berpolkadot biru. Bisa kau bayangkan
bagaimana bentuknya?”
Aku terkekeh sedikit. Nenek ini berhasil
menurunkan kadar badmoodku di tengah hujan yang tak kunjung berhenti ini. Bisa
kubayangkan jika keadaannya berbeda, aku bisa mengurung diri di rumah dengan muka
yang ditekuk hanya karena tak bisa pergi keluar karena hujan.
“Ceritakan padaku nek, ceritakan!” rengekku
seperti seorang anak kecil yang meminta dibelikan permen oleh ibunya. Kania
dengan keceriaannya kembali. Aku bahkan bisa merengek kepada seorang nenek yang
baru saja kutemui seperti merengek kepada nenek sendiri.
“Hahaha, ya. Kau gadis yang bersemangat. Aku
baru saja akan menceritakannya padamu.” Nenek itu menggeser badannya hingga
kini ia duduk tepat di sebelahku. Ia melanjutkan. “Walaupun tak seindah bunga
sakura, tapi ia punya keistimewaan yang menginspirasi seluruh warga Jepang hingga kami semua mencintainya. Kau bisa
bayangkan sehebat apa dia…
image source: www.finegardening.com
“Masa mekar Ajisai terbilang lama. Ia dapat
mekar sepanjang Tsuyu, peralihan musim penuh hujan di Jepang yang berlangsung 1 hingga 2 bulan. Ia sangat
tangguh. Ia dapat bertahan menghadapi angin kencang dan hujan yang datang
setiap hari pada masa masa ini. Walaupun ia terlihat rapuh dengan bunga-bunga
tunggalnya yang kecil, namun siapa sangka ia bisa sekuat itu. Saking kokohnya
ia menempel pada tangkainya, bahkan saat ia telah layu dan berubah warna
menjadi kecoklatan, ia takkan gugur. Ia akan terus menempel pada tangkainya,
hingga perawat tanaman ini sendiri yang akan memangkasnya.”
Kudengar kata demi kata dari nenek yang luar
biasa ini dengan cermat. Tak kulepaskan pandanganku dari ia yang sedari tadi
bertutur dengan semangat. Nenek ini hebat, usia tua tak membuatnya lemah dan
tak membuat hidupnya tak bergairah. Terbukti dengan segala belanjaan yang ia
bawa, ia masih kuat berbelanja ini itu di usia setua ini. Orang-orang Jepang memang terkenal dengan umur orang-orangnya
yang panjang karena gaya hidup yang sehat.
“Seperti yang kubilang tadi, kami warga Jepang sangat mencintai bunga ini. Sejak zaman
dahulu, para nenek moyang kami hingga mengabadikannya dalam syair-syair
tradisional Jepang.” Ia berhenti, memandangku sejenak. Tersenyum.
“Kau masih muda nak, kau harus mekar laksana
Ajisai kami…” Tangannya menengadah, merasakan rintik-rintik hujan membasahi
tangannya yang mulai keriput. “Kau harus tegar laksana ia yang kokoh tumbuh dan
mekar diantara terjangan angin dan hujan. Kau harus tetap menghadapi segala
yang menerjang dengan segala keindahanmu, memegang prinsip dengan teguh hingga
akhirnya kau layu dalam perjuanganmu…
image source: www.flowermeaning.com
“Hahaha, maaf aku terhipnotis dengan keindahan
ajisai di tengah hujan yang menginspirasi. Apakah pilihan kataku amat berat?”
Ujarnya saat melihat ku terbengong dengan segala kata-kata puitisnya.
“Oh, eh… Tidak!” tapi kuakui kata-katanya
memang nyeni. Penuh dengan kata-kata berbunga dan kiasan. Tak seperti
syair-syair Indonesia lama yang tercetak di buku paket antropologiku, justru itu
yang membuatnya langsung masuk. Tepat ke hatiku.
“Intinya, anak muda… Jangan biarkan sedikit
hujan itu mematahkan semangatmu. Membuatmu merasa harimu hancur seketika saat
hujan datang. Aku tahu apa saja yang kau ucapkan tadi saat hujan baru turun.
Walau tak sepenuhnya.”
“Hah? Bagaimana bisa nek? Bukankah aku tadi
menggerutu bukan dalam bahasa Jepang?” Aku terkaget, jadi ini sebabnya ia
langsung menyapaku saat itu? bagaimana ia mengerti, apakah sebenarnya ia orang
Indonesia yang berpura-pura menjadi orang asli Jepang?
“Hahaha. Aku tahu kau tadi berbicara dengan bahasa Indonesia. Mudah saja,
suami anakku orang asli Indonesia. Jadi aku mengerti sedikit kata-katamu tadi.
Tapi itu tidak penting, kau menangkap baik seluruh ocehan orang tua ini sejak
tadi kan?”
Ku anggukkan kepalaku dengan bersemangat,
tersenyum. Sungguh beruntung bertemu nenek ini di tengah-tengah situasi yang
awalnya sangat menyebalkan. Pertemuanku dengannya membuat waktu-waktuku
terjebak di tengah hujan ini menjadi menyenangkan.
“Terima kasih, nek… ” Nenek itu membalas
senyumanku. Seiring dengannya, langit kota Tokyo sedikit-demi sedikit mulai
kembali cerah. Memisahkan pertemuanku yang hanya sesaat ini dengan seorang nenek
yang mengagumkan. Yang saking terkagumnya aku hingga tak sempat berkenalan dan
bertanya namanya. Terimakasih banyak nek, terimakasih…
Roda-roda koperku bergulir, mengikuti arah
kakiku ini melangkah. Menapaki kembali tanah air setelah seminggu berada di
negri orang. Belum puas, namun cukup mengobati kerinduanku setelah
bertahun-tahun dicekoki ayah tentang keindahannya. Setelah landing penerbangan
ku dari Tokyo International Airport di Indonesia ini, satu nama yang kutunggu
untuk terlihat di layar ponselku. Ayah. Ayah tak segera menelepon, walaupun aku
telah mengiriminya pesan bahwa aku telah tiba di Indonesia.
Di sebuah restoran cepat saji masih di bandara,
kulepas penatku setelah menjalani penerbangan yang tak sebentar sejak pagi
tadi. Ku panggil pramusaji yang sedari tadi berjalan mondar-mandir. Dari
sederet menu yang tertulis, aku hanya memesan segelas lemon tea dingin untuk
menemaniku. Ku duduk di sudut café itu, sekali lagi seorang diri. Ditemani
kamera ku yang tergantung di leher.
Sembari melihat-lihat foto-foto selama trip ku
di Jepang, kurasakan sesuatu di kantong celanaku bergetar. Baru kusadari bahwa
itu adalah tanda panggilan masuk ke ponselku, sejak turun dari pesawat tadi
aku masih menyalakan mode silent. Nama contact yang sedari tadi kutunggu, Ayah.
Tanpa
menunggu satu katapun darinya, seperti biasa, aku dengan segala tingkah ku yang
nyentrik membombardirnya dengan segala macam jenis laporan.
“Ayaaaaaaaah! Ayah ternyata tak berbohong, Jepang
indaaah sekali!” Ujarku dengan menggebu-gebu. Sekali lagi, membuat orang-orang
di sekitarku menoleh karena terganggu suara seorang anak kelas dua sma yang mengalihkan
aktifitasnya. Dengan bahasa tubuh, aku meminta maaf. Menempelkan kedua tangan
dan menganggguk-angguk. Untungnya mereka segera kembali ke kesibukan
masing-masing.
“Hahaha, kau tau. Ayah tak pernah berbohong
padamu...” Suara ayahku menjawab dari pulau seberang. Ia sedang tak berada di
kotaku, ia sedang tak berada di rumah. Menjalani sebuah proyek baru di sana.
Oleh karena itu aku tak sabar untuk segera menceritakan semua cerita
menyenangkanku padanya.
“Di hari keempatku, aku sempat mengunjungi
kampus ayah dulu, Todai! Aku harap dua tahun lagi aku bisa datang lagi ke sana,
bukan hanya datang tapi tinggal dan menuntut ilmu disana, yah! Aku jatuh cinta!”
“Ya, sepertinya kampus ayah dulu itu takkan
berubah jauh. Masih semengagumkan dulu, betul? Oh ya, bagaimana bulan Juni
disana, Kania? Tak kau rasakankah ia mengganggumu setiap hari, sepanjang hari?”
Aku terdiam sesaat, mengingat ingat hari
pertamaku disana yang langsung disambut hujan sesaat setelah keluar dari
bandara. Hari kedua, saat aku dan seluruh rombongan menjalani tur seharian di
dalam bus karena hujan yang sejak pagi mengguyur, memaksa kami untuk menikmati
keindahannya dari balik jendela. Hari ketiga di Shibuya. Hingga hari ke empat…
“Awalnya semua memang terasa menyebalkan, yah…
” Jawabku setelah terdiam sesaat. “Namun akhirnya aku sadar suatu hal. Aku tak
bisa terus menerus begini, membenci hujan tanpa alasan yang dapat diterima.
Rela ia menggancurkan hariku sesaat setelah tetesan airnya menyentuh bumi,
padahal ia datang dengan damai bahkan membawa segala kebaikan. Menumbuhkan
segala macam tanaman, memberi air bagi tanah yang retak kekeringan. Bahkan air
yang berada di gelas lemon tea-ku sekarang, hujan adalah salah satu bagian dari
siklusnya…”
“Wah, gadis kecil ayah telah dewasa sekarang.”
Ayahku menjawab, dengan nada menyebalkan yang sejak kecil kukenal.
“Hahaha, ya ayah… Gadis kecilmu ini telah
terasuki sesuatu yang terbawa dari Jepang!”, gurauku.
Setelah sesaat itu, kami berdua tertawa lepas.
Menghentikan suasana melankolis yang kuhadirkan sebelumnya. Mungkin aneh bagi
ayah. Aku yang selama ini membenci hujan dapat mengatakan serangkaian kata
ajaib itu. Aku bisa membaca pikirannya, pasti didalam hatinya ia berkata: setan
apa yang merasuki anakku ini?
Aku dan ayah terhanyut dalam cerita-cerita
menyenangkan yang kubawa dari Jepang. Sibuk membandingkan, dengan keadaan saat
ayah kuliah dulu. Seiring berjalannya waktu pasti sunggguh banyak yang telah
berubah, drastis. Se-drastis perubahan perasaanku, tentang Jepang dan hujan…
Segala yang kulalui membuatku semakin
bersemangat untuk dapat melanjutkan studiku di Jepang. Dengan beasiswa kalau
bisa, agar tak menambah beban orangtuaku yang selama ini telah sangat baik pada
anaknya ini. Tentu saja, walau ujian nasional baru akan kuhadapi dua tahun
lagi, aku akan berjuang untuk Todai mulai sekarang.
Dan perasaanku tentang hujan… Kau tahu jelas
bagaimana perasaanku. Biarlah teru teru bozu-ku tetap menggantung di
jendela kamar di rumah. Namun tentunya, sekarang aku takkan membiarkan hujan
menghancurkan hariku lagi. Takkan kubiarkan hujan semudah itu menghalagi
usahaku dalam menggapai cita-cita. Walaupun hari mendung dan gelap, api
semangatku takkan bisa dipadamkannya. Aku akan terus berdiri tegak, tegar. Kania
harus bisa setegar bunga Ajisa yang mekar di negeri matahari terbit pada bulan
penuh hujan…
Aku, Jepang, dan Hujan. Kembali menjadi satu
kesatuan yang kini tak lagi bertentangan, namun justru tak dapat dipisahkan. Kania
yang baru akan membuktikan, tak ada lagi alasan yang dapat menghalanginya.
Sekalipun intensitas hujan di kota hujan-nya bertambah menjadi tujuh kali lipat.
Ditulis untuk lomba mengarang Aku Dia dan Hujan dari penerbit Gradien Mediatama dengan kategori Inspirasi
Illustration by
@hukmasy
Komentar
Posting Komentar
Comments are welcomed! Siapa tahu pertanyaan kamu sudah pernah dijawab, jangan lupa cek dulu pertanyaan yang sering ditanya di Jawaban Pertanyaan Umum/Frequetly Asked Questions (FAQ) ya! Jangan lupa juga centang kotak "notify me"/"beritahu saya" supaya ada notification jika pertanyaannya sudah dijawab. Terimakasih :)