Botol Baru si Anak Botol



Mereka memanggilku si anak botol. Aku lebih populer dengan panggilan itu, bahkan mungkin beberapa dari mereka tak tau siapa nama panjang ku sebenarnya. Bukan tak beralasan, mereka memanggilku seperti itu karena kebiasaanku yang tak biasa di mata mereka. Setiap hari di kampus, satu hal wajib yang selalu ku beli setiap ada kesempatan: sebotol air mineral 600ml. Aku akan meminumnya habis di dalam kantin, atau kubawa berjalan menyusuri koridor kampus sembari mengobrol hingga isinya habis dan akhirnya melemparnya entah kemana. Alasan yang sepele memang, tapi ini fakta.


Sehat, kuat alasanku setiap mereka menanyakan tentang kebiasaanku ini. Daripada membeli air bersakarin di botol warna-warni penuh rasa itu, atau bahkan minuman-minuman yang sumber airnya tak jelas dalam cup-cup gelas itu. Air mineral botol-ku jelas lebih sehat, aku yakin itu 100%. Dan aku masih terus melanjutkan kebiasaanku ini hingga sekarang, walaupun kini aku telah menjadi seorang mahasiswa.

Hari ini, perkuliahan selesai tengah hari. Sebagai mahasiswa yang peduli lingkungan, aku ikut dalam aksi damai menuntut tindak lanjut banjir yang menggenangi sebagian besar wilayah kotaku. Aksi kali ini meminta agar walikota kami merealisasikan janji-janjinya saat kampanye pemilihan dulu. Mengatasi banjir lah, kemacetan lah, polusi lah… Entah mengapa, siapapun walikota yang menjabat hal-hal tersebut memang tak pernah sukses bahkan hanya untuk sekedar diminimalisasi. Aku tak mengerti apa yang rusak dari kota ini, sepertinya bukan pemimpinnya.

Di sela-sela aksi, tak sedikit pedagang asongan yang menawarkan penawar kering kerongkongan kami yang berteriak sejak tadi. Teriakan para pedagang terdengar disela-sela suara orastor yang berapi-api di atas mobil bak terbuka itu. Sepertinya, kesempatan seperti ini selalu mereka manfaatkan untuk mencari nafkah, mencukupi kebutuhan anggota keluarga mereka yang sedang cemas menunggu dirumah. Sayangnya aku tak dapat ikut mengisi kantong mereka hari ini. Seperti biasa, aku telah siap dengan sebotol air mineral yang bahkan masih penuh di dalam tasku. Entah, botol ke berapa hari ini.

Aksi selesai pukul empat sore. Para mahasiswa membubarkan diri dan bergegas kembali ke kediaman masing-masing, bersegera menghindari macet jam pulang kerja di kota yang sibuk ini. Jika terlambat sedikit saja, bisa-bisa mereka sampai di rumah saat hari sudah mulai gelap. Aku yang bertempat tinggal tak jauh dari sini tak merasa terlalu khawatir. 10 menit dengan motor pun ku dapat sampai di rumah.

Tak langsung bersegera pulang, aku memperhatikan teman-temanku berpencar ke segala arah sambil membantu teman-teman yang lain membereskan sound system di samping mobil bak. Mataku menangkap hal yang tak asing setiap aksi semacam ini berlangsung. Sisa-sisa minuman botol maupun gelas yang telah selesai diminum tertinggal tercecer di atas aspal. Melihat kerumunan kami telah bubar, beberapa orang yang sedari tadi telah ada di sekitar kami mendekat, memunguti botol serta sampah lainnya dengan kait besi dan melemparnya ke karung di punggung mereka.

Di antara sosok-sosok dewasa yang sibuk ‘membersihkan’ sampah-sampah tersebut, mataku kembali menangkap sesosok mungil yang ikut sibuk dengan karung yang di seretnya, agaknya tak sanggup jika disampirkan di pundak. Bajunya lusuh, tetapi aura kanak-kanak yang lucu masih terpancar darinya.

Ia masih anak-anak… Aku berujar dalam hati. Dengan karung yang masih susah payah dibawanya, tiba-tiba anak itu mendekat ke arahku yang tak sadar memperhatikannya. Segera kuselesaikan gulungan kabelku, kumasukkannya ke dalam kotak. Aku berdiri dari jongkokku, menepis debu di celanaku dengan tangan. Kini anak itu berdiri di depanku, sepertiga badanku tingginya.

Ditunjuknya tas punggungku dengan tangan kecilnya. Ada apa dengan tasku? Dengan gerak reflek, kutolehkan kepalaku ke belakang. Oh, agaknya ia menginginkan botol mineral yang terlihat tersembul dari dalam tasku. Kuambil botol itu, kuteguk sisanya, lalu kuberikan pada anak kecil itu. Ucapan terimakasih terucap dari mulutnya. Tanpa menunggu jawaban, ia pergi dengan wajahnya yang riang, kembali memunguti botol-botol yang tersisa di jalanan yang mulai sepi itu.

Setelah jalanan sudah bersih dari sampah, orang-orang dengan karung itu pun satu persatu pergi. Namun tidak dengan anak itu. Ia berjalan ke trotoar, duduk diatasnya, mengeluarkan sebotol kecil air dan meminumnya. Kulambaikan tangan ke arah teman terakhir yang meninggalkan area aksi, yang segera melaju diatas mobil bak bersama sound system dan barang-barang logistik. Meladeni rasa penasaranku, ku arahkan kakiku ke tempat anak kecil tadi duduk.

Awalnya, ia agak canggung saat kutanyai ini itu. Tentang keluarganya, sekolahnya, teman-temannya, serta apa yang ia lakukan setiap hari. Lama kelamaan rasa canggung itu pun hilang. Belakangan aku tahu bahwa ia tak bersekolah, dan ia masih mempunyai dua adik lagi dirumah yang menunggunya membawa sesuatu untuk mengisi perut. Orang tuanya? Ada, namun ia mengaku bukan orangtuanya yang menyuruh. Ia hanya ingin membatu meringankan beban mereka.

Lalu ku tanya juga ia tentang karung yang sekarang teronggok di sebelah kakinya. Tentang akan dibawa kemana setelah ini botol-botol serta sampah yang dikumpulkannya. Ia bercerita tentang om pengumpul barang bekas yang akan menukar karung yang terisi penuh miliknya dengan beberapa lembar rupiah. Kemudian ia juga mulai bercerita tentang tempat pengolahan barang bekas di dekat tempat ia tinggal. Tentang ibu-ibu yang membuat kerajinan-kerajinan tangan dengan plastik-plastik bekas itu, juga untuk mencari nafkah.

Obrolan ini menarik -sekali lagi, untukku, seorang remaja yang peduli lingkungan ini- dan membuatku tak sadar bahwa langit mulai berubah gelap. Awan hitam bergerak memayungi kami dan bersiap memuntahkan air bahnya sedikit demi sedikit ke bumi. Segera ku akhiri pembicaraan kami. Sedikit berlari, aku segera menuju motorku yang kini menjadi satu-satunya yang terparkir disana. Dengan satu tarikan gas kuterobos kemacetan kotaku, namun tanpa bisa menghindari air yang menyerang dari langit hingga seluruh tubuhku basah kuyup setiba di rumah.

Agendaku minggu ini padat. Setelah mengikuti mata kuliah terakhir hari ini, aku masih harus menghadiri sebuah acara sosial: mengunjungi sebuah posko banjir, yang juga tak jauh dari rumahku. Setelah berhari-hari kotaku mendung dan beberapa kali hujan besar, seperti hal yang tak bisa ditolak lagi, kotaku yang sibuk ini kembali direndam banjir. Dan di musim hujan kali ini, daerah tempat tinggalku pun turut terendam. Untung saja, rumahku tak menjadi salah satu rumah yang terendam.

Acara kali ini lebih menekankan pada bimbingan emosional dan spiritual untuk anak-anak korban banjir itu. Beragam games dan hadiah kami bawa untuk menyenangkan mereka yang sedang tertimpa musibah. Kami coba agar hanya nyanyian dan tawa riang yang terdengar dari dalam camp. Mereka masih terlalu muda untuk mengahadapi masalah rumit ini. Biar pemerintah saja yang pusing mencari solusinya, pikirku.

Karena hanya sebagai panitia teknis, aku baru masuk ke dalam camp saat acara telah setengah jalan, sibuk mengambil barang dan menyiapkan keperluan –ya, lagi-lagi logistik- acara. Kusapukan pandanganku kearah anak-anak yang sedang sibuk mengobrol dan makan dari kotak snack yang kami bagikan. Di sudut ruangan, mataku terhenti pada sosok seorang anak kecil yang agaknya sedikit familiar. Anak itu,ujarku dalam hati. Tak menunggu lama, aku sudah berada di samping dan menyapanya. Kembali terhanyut dengan obrolan sebelumnya sempat terputus.

Ia bercerita selagi mulutnya masih berisi sedikit makanan, betapa sedih ia karena banjir ini merendam rumahnya yang berada di pinggir sungai. Tentang semakin banyak sampah yang bisa ia kumpulkan akhir-akhir ini, juga sampah yang semakin-lama semakin menumpuk di sungai belakang rumahnya. Tentang betapa ia senang karena bisa membawa lebih banyak uang ke rumah, namun sedih karena lebih banyak lagi sampah yang menyebabkan rendaman banjir di tempat tinggalnya. Ironi.

Walaupun segelintir orang -seperti ibu-ibu PKK itu- mengambil sebagian sampah untuk didaur ulang, namun masih lebih banyak lagi sampah yang menumpuk tak hanya di sungai , tapi juga di segala tempat. Karena itu, besi-besi dan kabel-kabel sisa elektronik yang tak terpakai, bungkus-bungkus makanan, kotak-kotak styrofoam, plastik-plastik belanjaan, hingga kaleng-kaleng dan botol-botol minuman itu telah lama memenuhi sungai-sungai di kotaku ini. Orang-orang tak henti membuang sampah baru setiap harinya, ujarnya.

Botol-botol? Kutundukkan kepalaku. Kutatap botol plastik yang setengah kosong di genggaman tangan kanan, lalu kutengok anak itu kembali sekilas. Ia telah kembali asyik dengan kotak makanannya. Kuedarkan pandanganku kearah semua anak di dalam camp, satu persatu. Wajah-wajah ini, wajah-wajah tanpa dosa ini…

Tanpa tahu apa-apa, mereka harus menanggung semua akibat dari perbuatan orang-orang lain yang –seharusnya- lebih dahulu dewasa. Yang seharusnya mengerti apa dampak dari membuang sampah tidak pada tempatnya. Yang seharusnya mengerti apa yang akan terjadi dengan sampah anorganik yang setiap hari dibuang, yang takkan terurai bahkan setelah terpendam tanah. Yang seharusnya tau bahwa masih banyak barang ramah lingkungan yang bisa dipakai untuk menggantikannya…

Termasuk aku, seorang yang mengaku pecinta lingkungan tetapi dapat menggunakan lalu membuang hingga 3 botol sampah plastik air mineral sehari, plus setumpuk sampah lainnya. Masih pantaskah aku mengaku sebagai pemuda anggota organisasi nasional pecinta lingkungan, yang meneriakkan lantang kata-kata kritik untuk pemerintah atas kebijakan yang tak ramah lingkungan, mengorganisasi berbagai kegiatan penyuluhan gaya hidup hijau atau kampanye save our nature di masyarakat? Masih pantaskah? Masih pantaskah aku bermanis di depan mereka, korban bencana yang secara tidak langsung adalah hasil perbuatanku juga?

Kutinggalkan percakapan yang terakhiri secara otomatis dengan anak kecil itu, lalu kulanjutkan peranku sebagai panitia logistik acara hari ini. Mempersiapkan peralatan untuk game selanjutnya, mengangkat kardus sisa snack keluar, hingga memindahkan papan tulis yang telah dipakai di sesi sebelumnya. Hari ini kuselesaikan tugasku sambil terus berpikir tentang obrolan singkat namun membekas di dalam camp bersama inspirator kecil yang malang itu.

Hari-hari berlalu. Tidak, tidak seperti dugaan kalian bahwa aku akan menyesal, lalu meninggalkan kebiasaanku, dan tak lagi dikenal sebagai anak botol. Mungkin di poin pertama dan kedua kalian benar. Aku memang menyesal dan aku meninggalkan kebiasaan buruk ku memproduksi sampah plastik dalam bentuk botol air mineral seperti biasanya. Namun sampai sekarang, di kalangan teman-teman aku masih dikenal baik dengan julukan si anak botol.

Botol-botol plastik perusak lingkungan itu telah kuganti dengan sebuah botol baru, sebuah tempat minum. Juga dari plastik, namun plastik yang food grade atau aman untuk makanan dan minuman serta dapat di daur ulang. Tak seperti botol-botolku sebelumnya, botol yang baru ini bukan botol yang sekali pakai sehingga akan menambah timbunan sampah di bumi kita. Air di dalamnya pun kuisi dari rumah, karena itu airnya lebih sehat karena bebas dari isu air mineral yang tak higienis di pasaran. Selain sehat dan ramah lingkungan, ia juga membuat pengeluaranku sedikit berkurang. Aku tak perlu membeli air mineral botol lagi jika merasa kehausan.

Mengikuti setelahnya, kugunakan tas belanja untuk menggantikan kantong-kantong plastik swalayan itu, bike to campus untuk menggantikan motorku yang merupakan penghasil polusi, hingga ku gunakan e-book dan e-learning yang mengurangi penggunaan kertas di perkuliahan. Aku, si anak botol telah menemukan botol baru, juga gaya hidup barunya. Walaupun awalnya terkesan kekanakan dan menerima berbagai cibiran, justru kini aku menjadi trend setter mereka. Tak perlu malu untuk mengawali, mengapa tidak untuk hidup lebih sehat dan lingkungan yang lebih baik?

Salma Fadhilah [Bogor, pertengahan Februari 2013]
Ditulis untuk lomba mengarang Children Helping Children by Tupperware periode 2013 dengan tema Sayangilah Bumi


Komentar

Postingan Populer

Sekilas Tentang Arsitektur Lanskap

#DaysInJapan: Totoro Forest