Di dua novel yang termasuk dalam tetralogi serial anak-mamak ini, diceritakan bagaimana setiap sore di desa itu anak-anak mandi sambil bermain bola di sungai, sedangkan ibu-ibu dan remaja putri mencuci pakaian anggota keluarga mereka. Dan di siang hari, bapak-bapak dan pemuda desa mencari ikan di sungai yang tanpa turun ke sungai pun dapat terlihat ikan-ikan yang berenang di dalamnya. Jernih. Tanpa limbah, tanpa sampah. Mereka pun dapat memanfaatkan sungai mereka untuk minum, dan memasak. Dengan aman. Tanpa takut keracunan. Dan tentunya pada saat itu mereka tidak akan pernah sekalipun kesulitan dalam mencari air. Ya, pada saat itu..
Namun dimana semua pemandangan menakjubkan itu sekarang? Masih adakah?
Miris. Sungai-sungai yang jernih mengalir meliuk-liuk bagai naga itu sekarang sudah berubah. Berubah wujud menjadi sungai yang kotor oleh sampah, tercemar berbagai macam limbah, dan semakin menyusut saja panjang, lebar dan dalamnya. Semakin berkurang saja persediaan air bersih kita. Semakin sering saja berita-berita yang menayangkan banyaknya daerah yang kekurangan air dan kekeringan. Air bersih yang seharusnya melimpah dan menjadi hak semua orang menjadi barang langka dan dicari-cari keberadaannya. Sungguh miris.
Mengapa bisa terjadi? Pastinya semua itu tidak akan muncul tanpa sebab bukan? Mungkinkah kerusakan dan kelangkaan itu terjadi hanya karena bencana alam? Ataukah terjadi begitu saja? Tidak mungkin. Pasti ada campur-tangan sebuah pihak di dalamnya. Siapa? Coba kita gali permasalahan-permasalahan itu hingga ke akarnya.
Kelangkaan air, misalnya. Apa yang terjadi? Mata air mati, sungai kotor, air hujan sudah tidak sehat, kekeringan dan banyak lagi masalah yang kita hadapi sekarang. Mengapa bisa terjadi? Pohon-pohon besar penyimpan air menipis, sampah memenuhi sungai-sungai, lalu polusi yang mengotori atmosfir. Tersangka utamanya? Tentu mereka yang menebangi pohon-pohon di hutan tanpa menanamnya kembali. Mereka yang membuang sampah dan mengalirkan limbah ke sungai. Mereka yang membuat peralatan berteknologi canggih, mesin-mesin pabrik yang modern, kendaraan-kendaraan bermotor yang hebat. Namun membuat udara kotor, asap pembuangan mengepul, dan polusi menghiasi atmosfir bumi.
Siapa mereka? Manusia. Sungguh, semua itu ulah tangan-tangan tak betanggung jawab mereka. Mungkin manusia-manusia sekarang belum sadar, apa yang dilakukan manusia itu sendirilah sebab dari kesengsaraan yang mereka alami.
“ ...Kita mengambil seperlunya. Kita menebang sebutuhnya. Kita punya batasan. Jangan pernah mengambil semua rebung tanpa menyisakan tunasnya untuk tumbuh lagi. Jangan pernah menebar racun atau menjulurkan kawat setrum di sungai yang akan membuat telur dan ikan-ikan kecil juga mati, padahal esok lusa dari merekalah sungai akan terus dipenuhi ikan-ikan. Jangan pernah menebas umbut rotan semuanya. Kita selalu berusaha menjaga keseimbangan Jangan pernah melewati batas, atau hutan tak lagi bersahabat...” (Burlian hal. 260)
Saat itu, Pukat, Burlian dan masyarakat yang tinggal di sekitar mereka hidup berdampingan dengan alam. Mereka mengambil pohon penyimpan air secukupnya dan menanamnya kembali, dan mereka tidak pernah mengotori sungai dengan sampah. Maka saat itu kebutuhan mereka tercukupi oleh alam, tidak pernah mengalami kekurangan. Mereka faham betul jika alam yang Tuhan berikan tidak dijaga dengan baik, maka mereka sendirilah yang akan menanggung akibatnya.
Tuhan menciptakan alam ini dengan segala keindahannya untuk manusia manfaatkan. Semuanya, kekayaan alamnya, hutannya, barang tambang, sungai, laut, serta sumber air lain, semua untuk manusia. Namun semuanya kembali lagi kepada manusia. Apakah manusia dapat memanfaatkan semuanya dengan baik dan tanpa melewati batas, ataukah mengambil sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya? Semua terserah kepada manusia.
Jika bumi telah kehilangan keseimbangannya dan manusia telah kesulitan mencari air, lalu apa yang akan terjadi? Berbagai penyakit menyerang manusia, dari penyakit kulit karena tidak ada air untuk membersihkan diri, hingga penyakit pencernaan dan dehidrasi karena tak ada air bersih untuk minum. Sawah-sawah gagal dipanen karena tidak ada air untuk mengairinya dan binatang-binatang juga mati karena kehausan. Intinya, tanpa air sebagai salah satu bagian penting kehidupan, makhluk-makhluk di bumi termasuk manusia tak akan bisa hidup.
Kalau saja manusia tidak memikirkan hawa nafsunya dan mengambil kekayaan alam secara berlebihan. Kalau saja manusia saat ini memiliki perasaan mencintai alam dan memikirkan nasib manusia yang akan hidup setelah mereka. Dan kalau saja mereka memiliki jalan pikiran seperti Pukat, Burlian, dan masyarakat desa sekitar mereka pada saat itu. Pasti masalah-masalah itu tak akan terjadi. Tak akan sampai terjadi kelangkaan air. Mata air akan tetap segar memancar. Sungai-sungai akan tetap bersih mengalir. Dan anak-anak pun akan dapat terus tertawa, bermain, dan mandi di jernih airnya. Kalau saja semua itu terjadi, air bersih akan tetap terus ada untuk seluruh makhluk hidup. Juga untuk manusia. Untuk kita.
Sudah terlambatkah?
Mbak,
BalasHapusIzin gambarnya ya ...
buat header image
Pensil Ajaib
Di tunggu mbak kunjungannya ...