Maaf yang Tak Pernah Habis

Surau-surau di desa itu ramai, tua muda mengumandangkan lantunan takbir untuk menyambut hari raya yang tinggal hitungan jam lagi. Di tengah gema takbir yang berkumandang malam itu, pintu sebuah rumah panggung tua diketuk. Suara salam yang khas terdengar. Dari dalam rumah itu, seorang ibu menjawab salam. Suara kakinya terdengar tergesa-gesa dan bersegera membukakan pintu. Wajahnya seketika cerah. Anak lelakinya yang telah lama bekerja jauh di luar kota telah pulang.

Mereka bercengkrama sejenak, melepas rasa rindu sebagai ibu dan anak yang lama tak bertemu. Mereka saling menanyakan kabar. Sang ibu menanyakan tentang usaha anaknya di kota yang telah berhasil. Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama.

“Bu, disini sudah dipasang internet?” ujar sang anak yang kini telah tumbuh dewasa dan mapan itu.

“Belum nak, sinyalnya tidak sampai.” Wanita itu terdiam sejenak. Hening. Lalu seperti teringat sesuatu, sang ibu langsung beranjak dari duduknya. “Oh iya, kau sudah makan nak? Ayo makan masakan ibu, ibu sudah buatkan masakan spesial untuk kau.” Katanya sambil mengambil piring dan mengambilkan makanan.

“Tidak usah bu, tidak usah.” Sang anak ikut beranjak dari duduknya. Sang ibu menghentikan gerakkan tangannya. “Setelah ini saya mau ke kota, mau menyelesaikan pekerjaan karena disini tidak ada internet untuk saya bekerja.” Ia berjalan menuju pintu lalu terdiam sejenak. Mematung. Lalu membalikkan badannya dan bertanya.

“Ibu tidak apa-apa kan?” ujarnya memastikan dengan nada suara yang ragu.

Sang ibu tersenyum. “Tidak apa-apa nak, pergilah” dengan kata-kata itu ia melepas kembali anaknya dengan lapang dada. Padahal ia masih ingin bersama dengan anak tersayangnya. Selama ini, sang anak tidak punya waktu untuknya karena kesibukan pekerjaan. Hilanglah kesempatan untuk menghabiskan malam hari raya bersama anaknya, keluarga satu-satunya. Namun ia mengerti akan keadaan anaknya yang mempunyai banyak urusan untuk diselesaikan.

Sementara itu masih diantara riuhnya gema takbir, lelaki itu telah sampai di suatu tempat di kota. Ia duduk, sejenak ia mengamati tempat sekitarnya. Tidak banyak orang malam itu, hanya ada dia dan seorang lelaki tua.

“Sedang apa Bapak sendirian disini?” ujarnya sambil berjalan mendekat.

Bapak tua itu menoleh, lalu tersenyum. Ia menarik nafas, lalu menghembuskannya pelan.

“Bapak disini sedang menunggui anak bapak, dia dirawat di rumah sakit dekat sini. Bapak sudah tua. Bapak ingin bersama dengan anak bapak di waktu-waktu terakhir bapak. Apalagi ini hari raya. bapak takut ini adalah hari raya terakhir yang bapak punya.”

Lelaki itu terdiam sejenak, ia cerna satu demi satu kata yang terucap dari mulut bapak tua itu. Seketika, hatinya menangkap serangkaian kata yang membuatnya ingat. Ibunya. Ibunya juga merasakan hal yang sama dengan bapak tua itu. Dengan segera, ia berpamitan dan mempercepat gerak langkahnya menuju kendaraannya. Membawa roda-roda itu melaju menuju rumah panggung tua tempat ibunya tinggal, juga tempat dimana ia dibesarkan di masa kecil.

Sampai di depan rumah, ia mengetuk pintu dan mengucapkan salam dengan perasaan sesak dan menahan air mata agar tak segera mengalir di wajahnya. Saat ibunya membukakan pintu, ia langsung menghambur ke pelukan wanita termulianya itu. Airmata penyesalannya tak mampu lagi dibendung. Segera keluarlah kata-kata yang sejak tadi mengendap di hatinya.

“Ibu, maafkan kesalahan yang saya lakukan selama ini bu” Sang anak berkata dengan suara tertahan. Sambil menangis, mengharubiru-kan suasana.

“Tidak apa-apa nak, ibu selalu memaafkanmu.” Sang ibu berkata dengan nada menenangkan dan tulus dari dalam hatinya. Seorang itu ibu tak akan tega melihat anaknya menangis dengan keadaan seperti itu. Seorang ibu pasti bisa memaafkan apapun kesalahan anaknya. Sebesar apapun. Maafnya tak pernah habis.

“Tapi bu, saya punya banyak salah sama ibu. Selama ini saya sibuk dengan pekerjaan saya, saya tidak memikirkan bagaimana perasaan ibu. Pasti ibu sangat sedih memiliki anak yang seperti saya. Maafkan saya bu, maafkan saya..”

“Sudahlah nak, lupakan saja semuanya. Mari masuk ke dalam.” Ujar sang ibu menenangkan. Sang anak menghapus airmatanya. Terdiam sejanak, lalu mengikuti langkah ibu tercintanya masuk ke dalam rumah.

Malam itu gema takbir masih berkumandang. Atmosfir malam hari raya masih amat terasa. Sementara itu, suasana haru terasa di sebuah rumah. Rumah yang damai, diselimuti rasa kasih sayang antara ibu dan anak yang menentramkan.


(berdasarkan film pendek/ iklan berbahasa malaysia tentang hari raya)

Komentar

  1. ga tau mau komen diamana.
    disni bolehkan.
    gini, ga ada artikel lagi buat ane or dah malez ngomongin ane truz, he he . . .

    [besok/wait]

    BalasHapus
  2. Good ,lanjutkan latihannya more exercise better

    BalasHapus

Posting Komentar

Comments are welcomed! Siapa tahu pertanyaan kamu sudah pernah dijawab, jangan lupa cek dulu pertanyaan yang sering ditanya di Jawaban Pertanyaan Umum/Frequetly Asked Questions (FAQ) ya! Jangan lupa juga centang kotak "notify me"/"beritahu saya" supaya ada notification jika pertanyaannya sudah dijawab. Terimakasih :)

Postingan Populer

Sekilas Tentang Arsitektur Lanskap

Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) IPB 50

Moony Scribbler