Senandung Syukur Shilla

“Alhamdulillah, Alhamdulillah

All praises to Allah, All praises to Allah...”

Sekali lagi lagu itu yang terdengar dari laptopnya. Entah sudah berapa kali dalam hari ini lagu itu ia dengarkan. Dan entah mengapa tidak bosan-bosannya ia mendengar lagu tersebut, sambil sesekali bibir kecilnya ikut bersenandung. Senandung kecil namun sepertinya dilakukan dengan penuh perasaan.

“Memang iya, atau hanya perasaanku saja? Sepertinya hanya lagu itu yang dari tadi kamu putar.”

“Ya, memang cuma lagu itu yang ada di playlistku.”

“Kenapa nggak dengar yang lain saja? Nggak bosan?”


Yang ditanya hanya tersenyum manis tanpa mengatakan apapun. Sudah berulang kali teman-temannya mengatakan hal itu pada Shilla. Gadis yang duduk di bangku kelas 2 SMA itu memang sering memutar lagu Maher Zain yang berjudul “Thank You Allah”. Lagu itu memang enak didengar, liriknya bagus, menyentuh. Tidak seperti lagu-lagu zaman sekarang yang berisi tentang percintaan. Lagu ini memiliki makna yang tersimpan di dalamnya, maka tak heran kalau Shilla suka sekali mendengarkannya. Tapi pasti ada sesuatu di balik lagu itu sehingga bagaikan tak ada lagu lain di dunia ini. Selalu, dan selalu lagu itu.

“Kenapa sih sepertinya kamu sangat suka dengan lagu itu? Ada lagu lain kan?” Mungkin ini yang kesekian kali Rinda, teman dekat Shilla menanyakan hal seputar lagu itu.

“Nggak kenapa-kenapa, Cuma suka aja kok.” Jawab Shilla santai tanpa memikirkan Rinda yang sudah sangat penasaran.

“Cuma suka? Nggak mungkin cuma suka kalo seharian kamu cuma mendengarkan lagu itu. Pasti ada apa-apanya. Ya kan?”

"Sebenernya sih biasa aja, cuma ada kenangan tersendiri aja. kenangan yang bisa bikin aku ingat sesuatu waktu mendenrgarkan lagu itu. mengingatkan aku agar selalu.." Shilla terdiam. Sejenak pikirannya terbang ke masa 1 setengah tahun lalu dimana ia baru lulus dari bangku SMP dan baru menginjak bangku SMA selama beberapa bulan.

---------------- (s.S.s)----------------

“Shill, ke kantin yuk!” Ajak Rinda sesaat setelah bel istirahat tiba.

“Mau ngapain? Males jajan ah.” Katanya sambil membereskan buku pelajaran dan alat tulisnya yang tercecer di meja sambil bersenandung kecil.

“Anterin aku aja ya... Ayolaah, nanti aku traktir deh jus alpukat kesukaan kamu. Mau kan?” Rinda mempraktekkan jurus ampuhnya. Karena ia tau bahwa Shilla tak akan menolak tawaran yang satu ini.

“Iya deh. Tapi nggak usah di traktir juga nggak apa-apa. Kamu aja yang aku traktir es kelapa muda. Oke?”

“Hahaha, boleh tuh!”

Shilla dan Rinda pun berjalan menyusuri koridor sekolah untuk menuju ke kantin yang terletak di pojok belakang sekolah.

“Kenapa tiba-tiba kamu ngejajanin aku? Lagi banyak duit yaa?” Tanya Rinda sesaat setelah sampai di kantin dan memesan pesanan mereka.

“Hmm, nggak juga sih. Abis dikasih uang jajan aja sama Ummi.”

“Hah? Bukannya beberapa hari yang lalu abis minta uang jajan? Kok udah minta lagi? Masa udah abis lagi sih?” Rinda menanyakan beberapa pertanyaan sekaligus.

“Hehehe, iya..” kata Shilla santai.

“Ya Allah Shilla, boros banget sih kamu. Emang buat apa aja sih? Kamu kan sekali di kasih uang jajan banyak banget, kok secepet itu abisnya?”

“Buat pulsa, jajan, yaa.. apalah gitu.” Ia mengaduk-aduk jus alpukat pesanannya yang baru datang.

“Ck ck ck, harusnya kamu hemat dong. Udah deh, Es kelapa mudanya aku bayar sendiri aja yah.”

“Terserah kamu aja lah..” Sekali lagi ia menanggapinya dengan cuek, seperti kebiasaannya.

Saat asik berbincang, tiba-tiba datang Livia yang pasti diikuti oleh gengnya. Seperti biasa mereka duduk di tempat paling strategis di kantin.

“Eh liat deh, aku punya apa.” Livia mengeluarkan suatu benda dari tasnya.

“Waah, iPad ya? Ini kan gadget keluaran terbaru!” teman-teman se-gengnya takjub melihat benda yang ia bawa. Mereka berebut meminjam iPad Livia.

“iya dong, Livia gituu. Nggak pernah yang namanya ketinggalan tren baru.” Ia kembali menyombongkan diri.

Sementara itu di pojok lain kantin, Shilla dan Rinda yang semenjak tadi memperhatikan ulah Livia menjadi gerah oleh kesombongannya. Rinda tidak terlalu memikirkan kejadian itu, sebab ia telah mengerti perangai Livia. Namun berbeda dengan apa yang ada di pikiran Shilla. Ia kesal melihat kesombongan Livia yang mulai menjadi jadi, tapi di sisi lain ia iri. Ia iri dengan apa yang dimilikinya.

---------------- (s.S.s)----------------

“Umi, kan kelulusan kemarin Shilla dapet peringkat 2 NEM tertinggi di sekolah Shilla nih, Shilla minta dibeliin iPad dong mi. itu loh, gadget baru. Shilla harus punya tuh mi.” rengek Shilla pada Umminya setelah pulang dari sekolah.

“Loh, kan Shilla udah punya laptop. Emang laptop aja nggak cukup? Kok minta beliin iPad?” kata Ummi sembari menyiram tanaman-tanaman kesayangannya.

“Kan ceritanya hadiah gitu. Dapetin NEM segitu susah loh mi, butuh perjuangan. Kan Ummi tau sendiri. Ayo lah mii...“ Shilla seperti lupa akan statusnya yang sudah beranjak SMA, sekarang ia nampak seperti anak yang baru saja lulus SD. Sifat manjanya keluar, walaupun sedikit. Dan juga karena statusnya sebagai anak tunggal, maka ia juga memiliki sifat agak memaksa.

“Ya mi, ya..” Sekali lagi Shilla merayu Umminya.

“Emang kenapa sih kalo Shilla nggak punya iPad?”

“Masih bisa pake laptop sih, tapi iPad lebih canggih dari laptop mi, lebih keren. Pokoknya Shilla mau iPad. Beliin ya mi..”

Bukan, sebenarnya bukan itu alasannya. Dalam hati terdalamnya ia iri dengan Livia. Setelah kejadian tadi siang, ia jadi ingin memiliki iPad seperti yang Livia punya. Bisa dibilang, ia tak mau kalah.

“Shilla pake laptop Shilla dulu aja. Urusan Ummi belikan iPad atau tidak itu urusan nanti. Sekarang masuk yuk, sudah mau maghrib.”

“Yah, Ummi maah..” Shilla memasang wajah cemberutnya.

Namun ia mencoba menurut walau dalam hatinya ia sangat kesal. Ia dan Ummi pun mengakhiri percakapan mereka dan masuk ke dalam rumah.

---------------- (s.S.s)----------------

Suatu siang saat Shilla baru pulang dari sekolah, Ummi sedang terpaku di depan layar laptopnya. Sebagai wanita karir, Ummi Shilla juga bekerja walaupun tidak terlalu sering keluar rumah. Sehingga masih banyak waktu yang bisa diluangkan di rumah bersama Shilla, anak semata wayangnya.

“Shilla, sore ini bisa ikut Ummi tidak?” kata Ummi tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.

“Kemana mi?”

“Ke panti asuhan punya yayasan temen Ummi. Soalnya di sana lagi ada acara. Shilla mau ikut Ummi?” Ummi bertanya untuk kedua kalinya.

“Ke panti asuhan? Males ah mi, Shilla mau di rumah aja.” Kata Shilla sambil duduk di meja makan dan makan siang. Ia masih menyimpan kekesalannya saat beberapa hari yang lalu permintaannya pada Ummi tidak dipenuhi.

“Loh kok males? Ayo ikut dariPada kamu di rumah, nggak jelas kerjaannnya. Mau ya?”

Shilla sempat mengeluh sesaat, namun ia pikir tak ada salahnya jika ia ikut Umminya. Yah, benar kata Ummi. Lumayan untuk mengisi waktu kosongnya di rumah.

“Oke lah. Bentar mi, abis ini Shilla ganti baju dulu.” Shilla segera menghabiskan makan siangnya kemudian berganti baju di kamarnya.

Belum lama ia masuk ke kamar, ia telah keluar lagi dengan muka cemberutnya.

“Anak Ummi kok cemberut? Kenapa? Jadi ikut Ummi kan?” Tanya Ummi sambil membereskan laptopnya.

"Ummi, Shilla mau jilbab baru mi.." Kata Shilla dengan masih cemberut.

"Jilbab Shilla banyak kan? Kenapa minta beli yang baru?”

"Jilbab Shilla banyak yang udah kependekan mi, jilbab kesayangan Shilla yang biru juga kependekan.”

“Masa sih? Tapi kan masih ada yang lain.”

“Tapi Shilla pengen jilbab baru..” Rengek Shilla lagi.

“Shilla, kamu kan udah SMA sayang, kamu pasti bisa kan menyusun skala prioritas? Mana yang harus dipenuhi terlebih dahulu, mana yang bisa ditunda, bahkan tidak harus dipenuhi. Kemarin kamu minta iPad, terus uang jajan kamu juga cepat sekali habisnya, kamu itu terlalu boros nak, apalagi sekarang kamu minta beliin jilbab lagi. Kamu nggak tau apa, kalo.. “

“Tapi mi, Shilla itu,”

“Shilla! Dengar dulu kata-kata Ummi, jangan dulu menjawab! Nanti pasti Ummi kasih waktu kamu untuk memberi penjelasan, tapi dengarkan dulu Ummi bicara!” Ummi balas menyela Shilla yang menyela kata-kata panjang Ummi.

Shilla terdiam, ia kaget. Ummi yang biasanya sangat sabar­­, senakal dan sesalah apapun dia tak akan membentak. Ummi akan mencoba mengingatkan dengan lembut dan baik-baik. Walaupun biasanya ia sangat susah dinasehati, Ummi sangat maklum. Bukan bermaksud membiarkan anaknya terus berbuat salah, tapi Ummi selalu memiliki cara tersendiri untuk menyadarkan sifat anaknya yang harus dirubah.

“Sekarang cepat berangkat. Bukan waktunya berlambat-lambat. Ummi sudah ditunggu teman Ummi.” Ummi

Dengan enggan, Shilla kembali ke kamar dan berganti baju. Terpaksa ia memakai salah satu jilbab lamanya. Setelah berganti baju dengan cepat, Shilla dan Ummi segera berangkat ke panti asuhan.

Sepanjang perjalanan ke panti asuhan, Shilla hanya terdiam. Bukan memikirkan kata-kata Ummi tadi. Bukan. Ia tak semudah itu meresapi nasehat Ummi. Namun ia kesal, ia tak suka dibentak. Ia anak yang agak keras kepala, susah di beritahu.

Selain itu sebenarnya, Shilla merasa enggan pergi ke acara-acara sosial seperti ini, karena pada dasarnya jiwa sosial Shilla kurang. Namun karena Umminya, ia pun patuh juga dan tetap ikut pergi walaupun hanya dengan setengah hatinya.

---------------- (s.S.s)----------------

Shilla merasa ada yang menarik lembut bajunya beberapa tarikan. Ia menoleh ke belakang, tepatnya ke bawah. Seorang anak laki-laki berusia sekitar 3 tahun itu tersenyum melihat Shilla yang awalnya kebingungan mencari pelaku penarik bajunya itu.

Shilla yang awalnya kesal merasa dijahili juga mendadak tersenyum melihat anak kecil yang lucu itu. Anak itu tertawa, tawa yang lepas. Polos. Shilla tak punya adik. Ia yang selama ini merasa sedikit kesepian menjadi sedikit terhibur. Pada dasarnya ia suka dengan anak kecil. Ia mencondongkan badannya kedepan dan memasang wajah paling gembiranya, sedikit melupakan kekesalan yang tadi ia rasakan.

“Adik, siapa namanya?”

“Aku? Nama aku Icam kak.” Kata anak itu dengan suara cadelnya. Lucu.

“Icam?” Shilla mengulangi. Ia tak yakin dengan apa yang ia dengar.

“Iya kak. Itu siapanya kak? Ibunya yaa?” kata anak itu lagi. Ia menunjuk ke arah belakangnya.

Sekilas Shilla melihat arah tangan anak itu. Ummi. Lalu hanya mengangguk sambil masih tersenyum.

“Disini Icam nggak punya ibu kak, temen-temen Icam juga. Pasti acik ya punya ibu. Tapi Icam nggak sedih, Icam seneng di sini banyak temen, banyak kakak-kakak. Ada Bu Lita juga yang ngurus semua di sini.” Ia menyebutkan nama pengurus panti tersebut.

Shilla terdiam, meresapi beberapa kata dari anak itu. Beberapa kata yang jujur, memiliki makna yang tersembunyi, terpendam. Tatapannya teralihkan, tak lagi ke arah anak itu. Namun menjadi tak fokus, menerawang jauh, melamun.

---------------- (s.S.s)----------------

“Kamu tahu Shilla,” kata Ummi setelah mereka meninggalkan anak itu untuk kembali berjalan dan melihat-lihat keadaan panti asuhan tersebut. “Anak kecil itu dan masih banyak lagi anak di panti asuhan ini, mereka tak seberuntung kamu..

“Mereka tidak seberuntung kamu yang bisa sekolah di sekolah yang bagus, bisa makan enak, juga bisa tinggal di tempat yang bagus. Dan yang paling terasa, mereka tak seberuntung kamu karena mereka tidak bisa merasakan indahnya kasih sayang orangtua. Mereka tidak punya orang tua dari kecil. Mereka tidak pernah merasakan apa yang selama ini kamu rasakan Shilla.”

Shilla hanya terdiam mendengar kata-kata Ummi. Umminya benar. Ada sekitar 60 anak disini, dengan rentang umur dari bayi hingga seumuran dengannya dan mereka semua tak seberuntung dia. Belum lagi masih banyak orang-orang yang tidak beruntung di luar sana. Ada yang salah, ada yang aneh di perasaannya. Shilla merasa ada sesuatu yang bergetar di hatinya. Sesuatu, entah apa.

“Dan satu lagi Shilla” lanjut Ummi. “Mereka tidak merasakan memiliki baju yang indah, baju yang melimpah. Mereka hanya memakai seragam panti, dan beberapa baju sumbangan dari dermawan yang berbaik hati memberikan mereka baju. Dan kebanyakan dari itu adalah baju bekas. Jarang ada yang memberi mereka baju baru. Kamu pasti tahu itu..

“Baju saja mereka sulit, apalagi teknologi canggih seperti iPad. Rasakan, resapi kata-katanya tadi. betapa bersyukurnya anak kecil itu atas apa yang ia punya..”

Seketika pipi Shilla terbasahi setetes air dari matanya. Sebuah air mata penyesalan, kesedihan. Sebuah air mata haru. Air mata yang membuatnya berpikir, betapa selama ini dia tidak memikirkan saudara-saudaranya yang lain, betapa selama ini ia tidak bersyukur, betapa selama ini dia selalu egois dan memikirkan dirinya sendiri. Betapa ia malah iri dengan apa yang ia tidak punya, bukan melihat dan bersyukur atas apa yang telah ia punya. Betapa selama ini ia tidak peka akan keadaan sekitarnya.

Ia menyesali apa yang ia katakan kepada Ummi beberapa hari yang lalu, saat ia meminta Ummi membelikannya iPad dan baju baru. Padahal ia masih mamiliki laptop yang dapat dipergunakan dengan baik, dan banyak jilbab dan baju yang tergolong bagus. Tidak hanya baju, fasilitas lainnya juga terpenuhi. Hidupnya tidak kekurangan, ia bersekolah di sekolah yang terbilang bagus, ia makan 3 kali sehari dengan makanan yang bergizi, lengkap dan enak, kemudian ia juga memiliki orangtua yang perhatian, ada saat dibutuhkan, dan berkecukupan. Terlebih lagi, ia adalah anak tunggal yang mendapatkan perhatian penuh dari kedua orangtuanya. Apa yang ia minta, dapat mereka penuhi. Benar-benar kehidupan yang tidak berkekurangan. Dan Shilla baru sadar itu.

Shilla mengusap air matanya. Lalu ia terdiam sejenak. Perlahan ia mendekati anak kecil tadi. Dengan kasih sayang, Shilla ajak ia bermain. Ummi melihat dari kejauhan. Ia tersenyum. Hatinya senang melihat anaknya yang biasanya kurang memiliki jiwa sosial bisa beramah tamah, bahkan bermain dengan anak yatim piatu itu.

---------------- (s.S.s)----------------

“Mi...” kata Shilla pada Umminya saat perjalanan ke rumah dari panti asuhan.

“Iya, kenapa Shilla?”

“Nanti anterin Shilla ya." katanya sambil menatap pemandangan luar jendela mobilnya.

"Anterin kemana nak?"

"Anterin Shilla ke panti asuhan tadi lagi ya mi, Shilla mau sumbangin jilbab-jilbab sama baju Shilla yang udah kekecilan. Terus Shilla juga mau bawain buku-buku cerita Shilla buat Hisyam, buat temen-temen dia, biar mereka bisa belajar. Shilla mau main sama mereka lagi mi.." kata Shilla yang tadi sudah mendengar keterangan tentang nama anak laki-laki itu dari pengurus panti. Karena kecadelannya saja namanya berubah dari Hisyam menjadi Icam.

Kini air mata Ummi yang menetes. Haru menyelimuti. Bangga, rasa itu yang ada di hati Ummi. Ummi bangga dengan hati mulia anak kesayangannya itu. Ummi mengusap air matanya, lalu memeluk sayang anaknya.

"Iya Shilla, nanti Ummi antar. Nanti Ummi juga mau bawa makanan buat temen-temen dan adik-adik Shilla di panti. Juga buku dan alat tulis buat mereka belajar. Nanti kita main sama mereka sama-sama ya nak.."

Air mata Shilla ikut menetes. Ia bertekad untuk berubah. Ia akan menjadi orang yang lebih bersyukur. Orang yang bukannya melihat ke atas, tapi melihat ke bawah. Orang yang lebih menghargai apa yang telah ia punya serta peduli kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Ia bertekad dengan tekad yang tulus dari dasar jiwanya.

"Oh iya, satu lagi mi." Kata Shilla sambil mengusap air mata dengan ujung kerudungnya. "Anterin Shilla ke tukang jahit ya mi, Shilla mau modifikasi beberapa jilbab Shilla, terutama jilbab kesayangan Shilla yang biru. Biar bisa dipake lagi mi. Kan sayang kalo harus beli lagi.."

Subhanallah, suasana haru kembali mengalir di dalam mobil itu. Benar, Shilla memang telah berubah. Shilla telah berubah menjadi orang yang lebih bersyukur atas segala nikmat Allah yang telah diberikan padanya.

Music player di mobil itu memutar sebuah lagu. Dan bibir Shilla pun ikut bersenandung..

“I never thought about all the things you have given to me
I never thanked you once, i was too proud to see the truth...
Alhamdulillah, Alhamdulillah
All praises to Allah, All praises to Allah...”


100% by ME

Komentar

Postingan Populer

Sekilas Tentang Arsitektur Lanskap

Belajar Apa di Arsitektur Lanskap IPB? #3

SDIT insantama, SD TER- yang paling TOP